Pelajaran Blog Khusus Bagi Pemula Lugas dan Penting Forantum I Blogging is My Life I Tutorial Blog I Tips dan Trik Blog I SEO I Free Template

Selasa, 10 Mei 2011

Membongkar Berhala, Membangun Sikap Ber-Allah

Posted On 12.28 by Dogel Blast 0 komentar

Oleh Dr. Paul Budi Kleden (Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores)


KEMBALI dunia dan bangsa ini dihantui oleh isu terorisme. Kasus cuci otak dalam rangka NII dan berita membunuhan Osama Bin Laden membangkitkan kembali bayangan mengenai aksi-aksi kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Bersamaan dengan itu, diskusi mengenai pluralitas agama dan pengakuan terhadapnya pun dihidupkan lagi.


Pluralitas agama bukanlah satu kenyataan baru di dunia. Kenyataan kejamakan agama sudah ada sejak lahirnya agama-agama. Sudah berabad-abad dunia tidak hanya mengenal satu agama. Yang baru untuk banyak orang di sebagian wilayah dunia adalah kenyataan bahwa pluralitas itu dialami secara langsung dan intensif. Ada mesjid berdampingan dengan gereja, ada bunyi azan di samping lonceng gereja adalah satu kenyataan baru baru untuk banyak warga dunia.


Bagi kita orang Indonesia bukanlah hal baru bahwa orang-orang yang berbeda agama hidup dalam satu wilayah dengan intensitas perjumpaan yang cukup tinggi. Namun, bagi banyak orang lain di dunia, pengalaman ini sungguh baru, baik karena mobilitas manusia (seperti di Eropa dan Amerika), maupun karena arus informasi melalui media massa ( di Timur Tengah).


Ternyata pengalaman baru ini melahirkan banyak ketegangan. Tidak mudah bagi banyak orang untuk membagi ruang hidup dan wilayah privilesenya dengan orang-orang lain. Ruang hidup yang sebelumnya diatur berdasarkan kebiasaan yang dibenarkan dan diberkati dalam tradisi agama tertentu, kini tidak dapat lagi begitu saja dipertahankan, sebab sudah hadir pula orang-orang yang menafsir dan memaknai hidupnya menurut kerangka religius yang lain. Tidak jarang kehadiran orang lain dengan sistem berpikir, gaya hidup dan corak penyembahan yang berbeda, dipandang sebagai sebuah gangguan, malah ancaman dan bahaya. Karena itu muncul berbagai ketegangan dan bentrokan.


Yang menjadi soal adalah bahwa munculnya bentrokan karena pengalaman baru ini justru menimbulkan masalah dan ketegangan juga di wilayah-wilayah, di mana pluralitas agama bukanlah satu kenyataan baru. Hal ini kita alami di Indonesia. Kita yang sudah lama terbiasa hidup dalam sikap saling menghormati dan menghargai, tiba-tiba dirasuki sikap saling mencurigai. Ruang hidup yang sebelumnya diatur oleh satu perangkat hukum negara yang kita telah kita rancangkan sebagai platform bersama yang moderat, tiba-tiba hendak diatur menurut regulasi agama tertentu. Ketunggalan sebagai bangsa dalam kebhinekaan kini dinilai sebagai kesalahan sejarah yang harus diluruskan. Toleransi tradisional kita ternyata kurang bertahan berhadapan dengan perkembangan baru ini. Kenyataan ini menjadi tantangan yang serius bagi kita semua.


Sebenarnya berbagai peristiwa dalam sejarah bangsa ini menunjukkan betapa rasa kemanusiaan telah menggeser pemisahan yang ditimbulkan oleh agama-agama. Aksi solidaritas global menanggapi bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh akhir 2004, misalnya, menunjukkan wajah yang terbelah dari penghayatan akan agama pada masa sekarang. Tetapi serentak dengan itu Aceh membuka tabir harapan ke arah satu suasana baru dalam relasi agama dengan masyarakat manusia. Aceh menjadi sebuah miniatur yang menunjukkan kecenderungan penghayatan agama dan relasi antaragama dalam dunia yang plural dan global. Hemat saya, kalau kita hendak menggagas sebuah paradigma baru dalam penghayatan agama, kita sudah bisa melihat sketsanya dalam peristiwa tersebut. Masyarakat internasional telah menunjukkannya. Kini giliran kita untuk mengikutinya.


Di satu pihak agama-agama, bersama berbagai elemen masyarakat dunia lainnya, turut mendorong lahirnya tindakan solider berupa pengiriman bala bantuan ke daerah bencana. Di banyak negara maju, lembaga-lembaga agama justru menjadi lembaga yang lebih dipercaya untuk menyalurkan bantuan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa untuk masyarakat Eropa dan Amerika, gelombang solidaritas yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga sekuler pun sebenarnya masih merupakan sisa dari wajah keagamaan. Agama bangkit dan menjadi teridentifikasi dalam wacana masyarakat plural, apabila agama menjadi satu faktor yang mempertajam kepekaan dan menumbuhkan tanggung jawab kemanusiaan.


Pada pihak lain kita berhadapan dengan kenyataan bahwa kita bereaksi sangat hati-hati berkenaan masalah keagamaan dalam aksi solidaritas tersebut. Kita melihat seolah agama dapat menjadi halangan untuk penyaluran bantuan bagi para korban. Karena cemas akan ketersinggungan para saudara/i kita yang muslim, orang-orang Kristen berusaha agar sejauh mungkin bantuan mereka tidak dikenal secara eksplisit sebagai bantuan dari orang Kristen. Dalam kenyataan, para korban di Aceh sama sekali tidak mempersoalkan agama orang yang membantu mereka. Hanya ada pihak tertentu yang merasa mempunyai alasan untuk mencurigai bahwa di balik aksi solidaritas ini terselubung niat untuk kristianisasi masyarakat korban. Ada kecurigaan dan pelabelan tertentu yang justru menghambat keberpihakan terhadap para korban.
Kedua wajah yang terbelah ini menunjukkan dua paradigma yang berbeda yang sedang berkembang dalam masa kita yang ditandai oleh pengalaman pluralitas agama yang intensif. Kita tidak dapat mengatakan bahwa agama tertentu mencerminkan wajah ini, sementara agama lain menampilkan wajah lain. Hemat saya, kedua wajah ini serentak ada di dalam semua komunitas beragama.
Paradigma pertama adalah keterlibatan agama-agama dalam karya-karya kemanusiaan. Agama masih menjadi motor yang patut diandalkan untuk membangkitkan solidaritas manusia bagi sesamanya, juga yang berbeda agama.

Banyak orang mengambil inspirasi dan motivasi dari agama-agama untuk terjun dan bertahan dalam karya-karya kemanusiaan. Agama mendekatkan orang-orang yang berbeda-beda kepercayaan. Paradigma kedua adalah bahwa agama masih menjadi andalan untuk membuat resistensi terhadap pengaruh-pengaruh asing atau mencegah memberi bantuan bagi pihak lain. Agama menjadi unsur pemisah yang bisa sangat menyakitkan. Tidak jarang resistensi ini terjadi sambil mengorbankan kepentingan para penderita. Resistensi ini mencerminkan kecemasan terhadap pengaruh agama lain bagi para pemeluk agama sendiri.


Agama yang terobsesi pada diri sendiri sebenarnya adalah agama yang sedang memberhalakan dirinya sendiri. Agama seperti ini sedang mengkhianati Allah. Allah adalah Allah, dan agama harus menghormati Allah, yang selalu lebih besar (akbar) dari dirinya sendiri. Allah yang benar selalu mempertahankan transendensiNya, kendati Dia menjadi imanen dalam pewahyuan diriNya. Agama yang benar mestinya selalu berorientasi pada Allah, mendengar dan mengikuti Allah. Dalam imanensiNya Allah mendatangi dan mengakrabi dunia dan manusia, menjadi lebih akrab dengan manusia dari manusia dengan diri dan sesamanya sendiri. Kalau demikian, agama yang benar harus selalu berusaha membongkar sikap memberhalakan diri dan sebaliknya selalu menumbuhkan sikap berorientasi pada Allah.


Sebenarnya, globalisasi kemanusiaan dan kepedulian akan keutuhan ciptaan merupakan satu arus global yang bersifat kritis terhadap globalisasi ekonomi yang cenderung menomorsatukan profit, tanpa mempedulikan beban yang mesti dipikul banyak penghuni bumi dan ketahanan bumi itu sendiri. Karena kemanusiaan telah menjadi satu nilai yang dibagi semua warga keluarga umat manusia, maka pelecehan terhadap kemanusiaan akan mengundang reaksi seluruh umat manusia. Juga kebersatuan dalam alam lingkungan yang sama sudah menjadi bagian yang utuh dari kesadaran bersama para penghuni bumi. Karena itu, kerusakan lingkungan di wilayah mana saja tidak dapat lagi diklaim sebagai masalah internal satu kesatuan politis.


Di tengah arus globalisasi kemanusiaan dan keprihatinan akan lingkungan hidup seperti ini agama hanya akan tampil sebagai satu lembaga yang kredibel apabila berpaling kepada kemanusiaan dan keutuhan ciptaan. Jika satu agama melawan gerakan global yang berwajah kemanusiaan, maka agama tersebut sebenarnya sedang menyingkirkan diri dari jaringan kekeluargaan seluruh umat manusia. Agama-agama menjadi sahabat manusia dan kerabat bumi, apabila mereka turut dalam gerakan besar kemanusiaan dan lingkungan.


Dari sini ada dua hal yang perlu ditegaskan. Pertama, prioritas di dalam setiap agama adalah Allah. Allah itu selalu lebih besar, lebih akbar dari manusia dan agamanya (deus semper maior). Allah tidak identik dengan ajaran agama, karena Allah bersifat kekal, sementara agama adalah tanggapan manusia yang tidak pernah dapat meniadakan sifat kefanaannya. Agama adalah wadah tanah liat yang menyimpan kekayaan ilahi. Bukannya wadah ini tidak penting, tetapi mesti disadari bahwa wadah ini bukanlah Allah. Saat agama menjadikan dirinya sendiri Allah, artinya ketika agama membuat dirinya mutlak dan kekal, pada waktu itu sebenarnya agama mengingkari dirinya dan mengkhianati Allah.


Kedua, Allah yang dikenal dan ditradisikan di dalam agama-agama adalah Allah yang mewahyukan diriNya, yang menampakkan diriNya demi keselamatan dan pembebasan manusia. Itu berarti, Dia adalah Allah yang tidak membiarkan manusia tenggelam dalam usaha sia-sia untuk menyelamatkan diri sendiri dan dalam penghancuran diri dan sesama serta alam lingkungan.


Pada intinya, Allah yang dikenal dan disembah di dalam Allah agama-agama adalah yang memiliki sebuah pro-eksistensi: Allah demi manusia. Jika demikian, maka manusia yang menyerahkan diri kepada Allah mestinya menjadi manusia yang terbuka dan memiliki komitmen bagi manusia dan alam. Sebab itu kita mesti mengatakan untuk setiap agama: konsekuensi dari kesetiaan kepada Allah adalah komitmen yang jelas dan tegas kepada manusia dan ciptaan. Kita tidak dapat beragama tanpa memiliki kepedulian terhadap manusia dan lingkungan hidup. Ibadah yang benar tidak pernah tidak bersentuhan dengan manusia dan persoalannya. Karena Allah adalah pengertian yang merangkum manusia, maka mendekati Allah selalu berarti juga berpaling kepada manusia dan ciptaan. *
Editor : Bildad Lelan | Penulis : | Sumber :


‘Goyang Lamahora’ dan Runtuhnya Politik

Posted On 12.26 by Dogel Blast 0 komentar

Oleh Dr. Otto Gusti (Dosen Etika Sosial di STFK Ledalero)


HARIAN Pos Kupang (PK) tanggal 6 Mei 2011 menurunkan sebuah berita menarik berjudul “Lusia Lebu Raya Goyang Lamahora”. Seperti diberitakan PK, istri Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, ini sempat menghipnotis warga Lamahora dengan lagu Terajana dan Cicak Rowo ketika ikut berkampanye untuk Paket PDIP, Eliaser Yentji Sunur-Viktor Mado Watun (Paket Lembata Baru) pada hari kedua kampanye pemilu kada di Lembata. Spontan warga Lamahora ikut bergoyang (Bdk. PK, 2-5-2011, hlm. 1).


Tentu tak ada soal mendasar jika para politisi bernyanyi atau bergoyang dangdut dalam sebuah perayaan ulang tahun, pesta nikah, syukuran permandian anak atau acara-acara privat lainnya. Menjadi soal dan masyarakat patut melihat dengan tatapan kritis ketika goyang dangdut menjadi metode berkampanye dalam pemilu kada.


Politik Tubuh


Fenomena ‘goyang Lamahora’ dapat ditempatkan dan ditafsir dalam kerangka perkembangan politik dan demokrasi di Indonesia pasca reformasi. Goyang Lamahora adalah bagian dari politik pencitraan yang menjadi ciri khas demokrasi di Indonesia pasca reformasi. Politik pencitraan ini dapat disejajarkan dengan fenomena maraknya kandidasi para artis oleh partai-partai politik yang meramaikan bursa calon pemilihan kepala daerah dan juga calon legislatif.


Secara prosedural fenomen ini dapat ditafsir sebagai kemajuan dalam kehidupan berdemokrasi karena menunjukkan luasnya partisipasi demokratis warga negara Indonesia untuk mengambil bagian dalam hidup berpolitik. Namun di sisi lain, secara substansial gejala ini sesungguhnya merupakan gambaran kasat mata patologi hubungan antara perempuan dan politik dalam ranah politik praktis di Indonesia.


Sesungguhnya pencalonan para artis belum menjadi bukti empiris kesadaran gender para elite politik kita. Alasannya, para artis dipilih pada tempat pertama bukan karena kompetensi politis dan integritas moral yang dimilikinya, tapi lantaran kemolekan tubuh dan popularitas pribadi. Partisipasi politik kaum perempuan direduksi menjadi politik tubuh. Dengan bantuan media massa para artis dipakai sebagai iklan untuk mendongkrak citra partai-partai politik dan elite politik yang kian buram dan terpuruk di mata masyarakat (Bdk. Otto Gusti, Politik Diferensiasi 2011, hlm. 33).


Dengan fenomena goyang Lamahora serta kandidasi para artis, elite politik sedang mengacaukan politik dengan pasar. Politik sebagai deliberasi rasional di ruang publik berubah wajah menjadi nyanyian dangdut, spanduk, billboards di pinggir-pinggir jalan, kemolekan tubuh perempuan dan iklan-iklan di televisi.


Rasionalitas instrumental pasar telah memanipulasi kesadaran warga (demos) serta mengisi dan ‘mengkolonialisasi’ ranah publik politik sebagai ruang diskursus bebas represi. Merdunya suara penyanyi dangdut dan kemolekan tubuh artis dipakai untuk menggaet massa voters. Voters tidak diperlakukan sebagai warga otonom dan rasional, melainkan massa konsumen yang dapat dimanipulasi lewat iklan-iklan politik dan nyanyian dangdut. Hasilnya, setelah pemilu kada berakhir tampuk kekuasaan tetap dipegang oleh elite-elite politik pragmatis yang jauh dari keberpihakan terhadap nasib rakyat miskin.


Hegemoni Kapital


Goyang Lamahora adalah bukti kasat mata hegemoni logika pasar atas politik pemilu kada. Secara umum, bahaya hegemoni kapital atas politik sudah jauh-jauh hari diperingati filsuf keturunan Yahudi asal Jerman, Hannah Arendt (1906-1975). Politik adalah ekspresi kebebasan menurut Arendt. Kebebasan itu terungkap dalam komunikasi atau wacana di ruang publik. Namun ketika politik tunduk di bawah logika pasar (baca: dangdut, iklan-iklan politik), maka wacana pun macet dan politik berada di titi awal keruntuhan. Alasannya, pasar berorientasi pada kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi-konsumsi.


Ketika politik sebagai ekspresi kebebasan tunduk di bawah logika keniscayaan produksi dan konsumsi, maka panggung politik akan marak diisi oleh para politisi pengejar profit dan mata pencaharian. Ruang publik berubah rupa menjadi pasar yang marak KKN, kebohongan, penipuan serta iklan-iklan politik manipulatif. Dalam kampanye pemilu kada tak ada lagi dialog atau wacana rasional tentang persoalan substansial hidup masyarakat pemilih seperti misalnya bahaya korporasi tambang yang akan mengeruk kekayaan alam rakyat Lembata.


Politik sebagai deliberasi rasional digeser. Sebagai gantinya, kepada demos disuguhkan dari pentas politik pemilu kada iklan politik dengan penekanan pada penampilan luar, hiburan-hiburan murahan, nyanyian dangdut, manipulasi, politik uang, pengerahan massa dan politik partisan. Tak ada lagi batasan yang jelasa antara oikos dan polis, antara keniscayaan pasar dan ekspresi kebebasan politik.
Hancurnya tembok pemisah ini berarti ekspansi survival of the fittest a la Darwin ke ruang politik. Akibatnya, masyarakat dilanda krisis solidaritas, individu-individu terhempas dari basis komunitasnya dan berubah menjadi homo economicus yang apatis terhadap politik. Saling pengertian, empati dan respek akan perbedaan dalam kehidupan sosial kian tergeser. Prinsip survival hidup atau mati menjadi pilar satu-satunya hidup sosial (Bdk. F. Budi Hardiman, 2010, hlm. 190).


Individu yang apatis terhadap politik pada gilirannya menjadi sasaran empuk manipulasi pasar. Tak ada lagi demos (warga kritis) yang mengekpresikan kebebasannya di ruang publik. Yang ada adalah massa konsumen yang telah mengalami depolitisasi. Masyarakat massa tak mampu bersifat kritis dan rentan dimobilisasi demi sebuah politik kekuasaan. Massa adalah lahan subur bertumbuhnya politik uang dan KKN.


Dominasi pasar atas politik menyebabkan biaya pemilu kada atau pemilihan legislatif di Indonesia menjadi sangat mahal. Menurut hasil penelitian Profesor Stein Kristiansen dari Universitas Agder, Norwegia dan UGM, untuk menjadi bupati di Indonesia seseorang tidak segan-segan mengeluarkan biaya sekitar Rp 5 hingga 20 miliar. Sementara itu gaji seorang bupati cuma berkisar dari 6 sampai 7 juta perbulan.

Bupati terpilih akan menggunakan pelbagai cara untuk menutup kembali investasi yang dikeluarkan selama proses pemilu kada. Korupsi menjadi sebuah keniscayaan dalam politik pemilu kada yang mengandalkan iklan-iklan politik, penciteraan dan politik bagi-bagi uang.

Runtuhnya politik hanya dapat diatasi dengan membangun garis demarkasi yang tegas antara pasar dan ruang publik serta mengembalikan politik ke kodrat awalnya sebagai deliberasi rasional di ruang publik. *
Editor : Bildad Lelan | Penulis : SKH Pos Kupang | Sumber : Pos-kupang.com


Selasa, 04 Januari 2011

Tunjukan Dimana Kantor Bupati Lembata

Posted On 22.21 by Dogel Blast 0 komentar

Lagi-lagi Kabupaten Lembata berhasil pecahkan rekor, sejak jadi kabupaten otonom berhasil mendirikan 3 buah kantor bupati. Dana yang dikeluarkan juga tidak sedikit, jumlahnya triliunan rupiah. 


Sekarang gaung pilkada mulai ditabuh, politisi mulai " cari muka" ke kampung-kampung. Jual tampang, jual program. Atas nama rakyat dan panggilan Lewotana jadi " tameng" untuk bujuk rayu rakyat. Penggombal, pembohong itulah politik maklum tanpa itu, karir seorang politikus hanya kan menjadi pekerja politik, tanpa mengenyam kekuasaan dan nikmati jabatan.


Jika nanti saatnya kampanye tiba, isu seputar pembangunan tiga kantor bupati bakal jadi headline di atas panggung. Siapa yang bertanggung jawab atas mubazirnya uang rakyat dan apa yang menjadi latar belakang pemerintah mendirikan tiga buah gedung itu? Rakyat cuma diam dan berbisik " kami su tau tapi kami los"


Selasa, 19 Oktober 2010

AKTA HIBAH

Posted On 01.57 by Dogel Blast 0 komentar

Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
TTL :
Alamat :
No. KTP :

Dengan ini menyatakan memberikan, menyerahkan dan/atau menghibahkan tanah dan bangunan yang terletak di ………………….. dengan Sertifikat Nomor : …………………….. Atas nama : ……………………………. , dengan batas-batas Timur : ….., Barat : ……., Utara : ……, Selatan : ……., kepada para penerima hibah yang semuanya secara bersama-sama berkedudukan sebagai anak kandung saya yang terdiri dari :
Nama :
TTL :
Alamat :
No. KTP :

Nama :
TTL :
Alamat :
No. KTP :

Nama :
TTL :
Alamat :
No. KTP :

Nama :
TTL :
Alamat :
No. KTP :

Nama :
TTL :
Alamat :
No. KTP :


HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Posted On 01.52 by Dogel Blast 0 komentar

PENGERTIAN

Yang dimaksud dengan “internasional” adalah karena dalam hubungan/peristiwa hukum tersebut mengandung unsur asingnya (Foreign Element). Pada umumnya aturan perdata internasional di Indonesia diatur dalam Algemene Bepalingen (AB). Menyangkut pengertian Hukum Perdata Internasional terdapat 2 (dua) macam aliran :
1. Internasionalitas : harus ada hukum perdata yang berlaku di seluruh dunia/ beberapa negara.
2. Nasionalitas : di setiap negara mempunyai hukum perdata internasional masing-masing. Artinya : setiap negara mempunyai peraturan masing-masing terhadap perbuatan perdata yang mengandung unsur asing.
Beberapa pengertian Hukum Perdata Internasional menurut para ahli hukum :
1. Van Brakel : hukum nasional yang khusus diperuntukkan bagi perkara-perkara internasional.
2. Cheshire : dalam bukunya “Private International Law” mengatakan bahwa cabang dari hukum Inggris yang dikenal sebagai Hukum Perdata Internasional mulai bekerja apabila badan pengadilan dihadapkan dengan gugatan hukum yang mempunyai unsur asing (Foreign Element).
3. Sudargo Gautama : keseluruhan peraturan dan kekhususan hukum yang menunjuk stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa antara warga-warga negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian-pertalian dengan stelsel-stelsel dengan kaidah-kaidah hukum 2 (dua) atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan, kuasa tempat, pribadi dan soal-soal.

Dalam Hukum Perdata Internasional Indonesia telah terjadi pertentangan istilah (Contraditio In Terminis). Maksudnya bahwa adanya kata “internasional” menunjuk seolah-olah ada hukum perdata yang berlaku di semua negara padahal hukum perdata tersebut (HPI) berlaku di Indonesia.

SUMBER-SUMBER HUKUM PERDATA INTERNASIONAL INDONESIA

Hukum Perdata Internasional Indonesia, sumbernya tersebar di mana-mana, tetapi sumbernya yang utama adalah Algemene Bepalingen khususnya Pasal 16, 17 dan 18. Pasal 16, 17 dan 18 AB merupakan kaidah penunjuk Hukum Perdata Internasional karena menunjuk pada suatu sistem hukum tertentu untuk berlaku. Sedangkan kaidah berdiri sendiri/mandiri tidak menunjuk pada suatu sistem hukum tersendiri tetapi mengatur sendiri. Contoh : Pasal 935 BW tentang testament. Kaidah mandiri mengesampingkan kaidah penunjuk. Contoh : Pasal 935 BW mengesampingkan Pasal 18 AB.

Pasal 16 AB : Lex Partiae
Pasal 17 AB : Lex Rei Sitae
Pasal 18 AB : Lex Loci Actus

RUANG LINGKUP HPI

Ada beberapa aliran :
1. Aliran yang paling sempit dianut oleh Jerman dan Belanda yaitu mencakup Techtstoepassingrecht : hukum yang berlaku untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mengandung unsur asing. Dengan demikian aliran sempit ini berbicara mengenai “Choice of Law”.
2. Mengatakan bahwa luas bidang HPI : mengenai hakim mana yang harus menyelesaikan masalah yang memuat unsur asing setelah itu baru dipermasalahkan hukum apa yang diberlakukan terhadap masalah tersebut. Oleh karenanya pada paham atau aliran ini memuat “Choice of Law” dan “Choice of Yuridiction”. Paham kedua ini dianut oleh negara-negara Anglo Saxon.
3. Luas bidang HPI meliputi : hakim mana yang harus menyelesaikan masalah, hukum apa yang digunakan dan status/ kedudukan orang asing tersebut. Aliran ini dianut oleh Italia dan Spanyol.
4. Luas bidang HPI meliputi : hakim mana yang harus menyelesaikan masalah, hukum apa yang digunakan, status/ kedudukan orang asing tersebut dan kewarganegaraan. Aliran ini dianut oleh Perancis.

Apabila dilihat dari ruang lingkup HPI tersebut maka masalah-masalah pokok yang dihadapi oleh HPI yaitu : Pertama, mengenai “Choice of Law” untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mengandung unsur asing (foreign element). Sedangkan masalah Kedua, mengenai “Choice of Yuridiction” untuk menyelesaikan masalah yang mengandung unsur asing. Ketiga, sejauh mana keputusan hakim dari suatu negara diakui mengenai hak dan kewajiban yang timbul dari keputusan tersebut.
Dua kelompok besar peraturan :
1. Hukum Materiel Intern : Sachnormen
2. Hukum Perdata Internasional : Kollisionnormen

SUMBER-SUMBER HPI
1. Tertulis : UU, Trakat
2. Tidak Tertulis : Yurisprudensi, Kebijaksanaan

TITIK PERTALIAN

Titik pertalian adalah hal-hal atau keadaan-keadaan yang dapat menunjukkan adanya kaitan antara-antara fakta-fakta yang ada di dalam suatu perkara dengan suatu tempat/ sistem hukum yang harus atau mungkin untuk dipergunakan.
Untuk mengetahui hukum apa yang harus diberlakukan di dalam menyelesaikan perkara-perkara yang mengandung unsur asing, hakim harus mencari titik taut yang ada atau berkaitan di dalam masalah HPI tersebut dengan melihat kepada titik-titik pertalian yang ada.

Titik Pertalian Primer

Titik pertalian primer merupakan titik taut yang menentukan bahwa peristiwa tersebut merupakan HPI. Jadi, TPP melahirkan HPI. Fungsi TPP adalah untuk menentukan ada tidaknya peristiwa HPI. Titik pertalian primer disebut juga Titik Taut Pembeda/Point of Contact/Aanknoping Spunten.
TPP (foreign element) meliputi :
1. Kewarganegaraan;
2. Bendera kapal;
3. Domisili;
4. Tempat kediaman;
5. Tempat kedudukan;
6. Hubungan hukum di dalam hubungan intern.
Contoh hubungan hukum di dalam hubungan intern : Dua orang WNI di Indonesia melakukan perjanjian bisnis mengenai barang yang berasal dari Luar Negeri.

Titik Pertalian Sekunder

Titik pertalian sekunder adalah hal-hal atau keadaan-keadaan yang menentukan berlakunya suatu sistem hukum tertentu di dalam hubungan HPI. Titik taut penentu ini menentukan hukum apa yang harus diberlakukan di dalam menyelesaikan masalah-masalah HPI. Dalam persoalan HPI dimungkinkan juga Titik Taut Primer (TTP) merupakan TTS dalam hal mengenai :
1. Kewarganegaraan;
2. Bendera kapal;
3. Domisili;
4. Tempat kediaman;
5. Tempat kedudukan;
Sebenarnya TTS dalam HPI amat sangat banyak, terutama selain hal-hal di atas :
6. Letak dari benda;
7. Tempat dilaksanakan kontrak (ditandatangani kontrak);
8. Tempat pelaksanaan dari pada perjanjian (realisasi perjanjian); - Lex Loci Solutionis –
9. Tempat di mana perbuatan melanggar hukum itu dilakukan (Tatort);
10. Party Autonomy – Choice of Law – Pilihan Hukum/ Rechtskause; Pilihan hukum yang ditentukan oleh kedua belah pihak dalam perjanjian. Kecuali, bila pilihan hukum itu melanggar Order Public/ kepentingan umum maka hakim dapat menyimpang dari pilihan hukum tersebut. Pilihan hukum hanya untuk perbuatan hukum kontrak.

HPI terdiri dari :
1. HPI materiil/substantif :
a. Subyek hukum;
b. Hukum keluarga;
c. Hukum harta benda : benda, kontrak;
d. Hukum waris.
2. HPI formil/ obyektif :
a. Renvoi;
b. Kualifikasi;
c. Ketertiban umum;
d. Fraus legis;
e. Hak-hak yang diperoleh;
f. Persoalan pendahuluan;
g. Persesuaian;
h. Persoalan timbal-balik;
i. Pilihan hukum.

STATUS PERSONAL (SP)

Mengenai SP dalam HPI di Indonesia diatur dalam Pasal 16 AB. Dalam ketentuan Pasal 16 AB terhadap SP diberlakukan hukum sesuai kewarganegaraannya.
SP adalah keadaan-keadaan yang menunjukkan adanya kaitan antara fakta-fakta mengenai pribadi yang ada di dalam suatu perkara dengan sistem hukum yang berlaku. Dengan demikian pada dasarnya SP merupakan suatu kondisi dari suatu pribadi di dalam hukum yang diakui oleh negara untuk mengamankan serta melindungi masyarakat. Dengan demikian SP meliputi masalah mengenai cukup umur/tidak, kekuasaan orang tua, pengampuan, keabsahan seorang anak, adopsi, perkawinan, perceraian dan sebagainya sehingga yang termasuk dalam status personal adalah keadaan-keadaan suatu pribadi di luar perjanjian.
Di dalam HPI, status personal ada dua asas :
1. Asas Kewarganegaraan : SP seseorang di atur menurut kewarganegaraannya/ nasionalnya. Asas ini dianut oleh negara-negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental.
2. Asas Teritorialites : SP dari seseorang mengikuti hukum di mana ia berdomisili. Asas ini dianut oleh negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon.

Untuk menentukan kewarganegaraan dari seseorang berlaku Asas Ius Soli dan Ius Sanguinis. Di negara Inggris, pengertian dari domisili ada 3 macam :
1. Domicilie of origin : domisili seseorang berdasarkan asalnya.
2. Domicilie of choice : domisili yang dipilih seseorang.
3. Domicilie of Dependence : domisili dari seseorang berdasarkan domisili orang lain. Contoh : domisili anak berdasarkan domisili orang tua.
Pemakaian asas-asas SP ini, apabila diterapkan secara ketat akan menimbulkan kelemahan-kelemahan. Kelemahan-kelemahan yang timbul apabila SP seseorang digunakan asas nasionalitas secara ketat maka akan menimbulkan :
1. Renvoi terhadap WNA yang di negaranya menganut Asas Domisili;
2. Dalam hal seseorang tidak mempunyai kewarganegaraan. Dalam hal demikian untuk menentukan SP seseorang harus meminta bantuan Asas Domisili.
3. Di dalam hal suatu keluarga mempunyai kewarganegaraan yang berbeda-beda maka terhadap status personal seharusnya dipergunakan status domisili.
Kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam penentuan SP, jika yang dipakai Asas Domisili secara ketat maka akan terjadi :
1. Renvoi apabila asas domisili diterapkan kepada seseorang yang menganut asas nasionalitas meskipun secara faktual ia berdomisili di tempat yang bukan nasionalnya.
2. Asas domisili ini kurang permanen, karena dimungkinkan seseorang mempunyai domisili yang tidak tetap.
Alasan-alasan yang mendukung Asas Nasionalitas :
1. Asas nasionalitas sangat cocok untuk perasaan hukum dari seseorang;
2. Asas nasionalitas lebih permanen;
3. Asas nasionalitas membawa kepastian hukum yang lebih banyak.
Alasan-alasan yang mendukung Asas Domisili :
1. Hukum domisili merupakan hukum di mana seseorang yang sesungguhnya hidup;
2. Asas kewarganegaraan seseorang memerlukan bantuan Asas Domisili;
3. Hukum Domisili sering tidak rigid dengan hukum dari si hakim (Lex Fori);
4. Asas Domisili akan membantu bagi mereka yang bipatrit.

Dengan adanya perkembangan ekonomi global banyak orang-orang asing yang menanamkan modalnya di Indonesia termasuk mereka yang mengadakan “Joint Venture” perlu dipertanyakan hukum apa yang mengatur mengenai hak dan kewajiban badan hukum yang mengandung unsur asing. Untuk menentukan badan hukum yang mempunyai SP berlaku beberapa macam asas yaitu :
1. Prinsip kewarganegaraan/ domisili dari sebagian besar pemegang sahamnya; Asas ini merupakan asas tertua di dalam menentukan hak dan kewajiban badan hukum yang mengandung unsur asing. Kelemahan dari asas ini muncul apabila kewarganegaraan dari berbagai warga negara asing;
2. Asas Centre of Administration/ of Bussiness : bahwa untuk menentukan status dan wewenang suatu badan hukum mengikuti hukum di mana pusat dari administrasi badan hukum tersebut terletak;
3. Asas Place of Incorporation : untuk menentukan status dan kewenangan yuridis suatu badan hukum ditentukan berdasarkan hukum dari tempat/ negara di mana badan hukum tersebut didirikan secara sah. Asas ini dianut oleh Indonesia;
4. Asas Central of Eksplotation : untuk menentukan status dan wewenang yuridis badan hukum harus ditentukan berdasarkan tempat/ negara di mana perusahaan tersebut memusatkan kegiatan eksploitasi atau memproduksi barang-barangnya. Di dalam penerapan Asas Central of Eksplotation akan mengalami kesulitan apabila perusahaan tersebut mempunyai cabang yang tersebar di mana-mana.

Menurut S. Gautama mengenai SP ini, terhadap WNI yang di luar negeri diberlakukan hukum Indonesia, akan tetapi terhadap WNA di Indonesia, meskipun berdasarkan Pasal 16 AB mengenai status personalnya harus diberlakukan hukum nasionalnya, namun apabila orang asing tersebut telah berada di Indonesia lebih dari 2 (dua) tahun, sebaiknya bagi WNA tersebut, untuk status personalnya diberlakukan hukum domisili (Hukum Indonesia).

ASAS-ASAS HPI DALAM HUKUM KONTRAK

Persoalan pokok di dalam hukum kontrak yang mengandung unsur-unsur asing, adalah penentuan “The Proper Law of Contract” (PLOC). Penentuan PLOC menjadi masalah apabila di dalam kontrak tersebut tak ada “Choice of Law”. Secara teoritis, penentuan PLOC ada bermacam-macam teori :
1. Teori Lex Loci Contractus
Teori tertua yang menyatakan bahwa hukum yang harus diberlakukan sebagai PLOC adalah hukum dari negara di mana kontrak tersebut ditandatangani. Kelemahan dari teori ini apabila terjadi para pihak tidak bertemu sehingga perjanjian dilakukan melalui email/telegram/fax.
2. Teori Lex Loci Solutionis
Menurut teori ini untuk menentukan PLOC adalah mengunakan hukum di mana pelaksanaan kontrak tersebut dilakukan. Kelemahan teori ini apabila pelaksanaan dari kontrak dilakukan di berbagai negara.
3. Teori Party Autonomy
Teori ini berasal dari suatu Asas Kebebasan Berkontrak dari para pihak. Di dalam teori ini para pihak boleh memilih hukum apa yang harus diberlakukan di dalam menyelesaikan masalah-masalah di dalam kontrak, asal pilihan hukum tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum (public order) dan hukumnya si hakim (Lex Fori).
4. Teori Most Characteristic Connection
Di dalam teori ini untuk menentukan PLOC sebaiknya ditentukan terlebih dahulu titik-titik taut yang secara fungsional menunjukkan adanya kaitan antara kontrak tersebut dengan hubungan sosial yang akan diatur oleh hukum tertentu. Dengan demikian harus berusaha menemukan kaidah-kaidah yang merupakan hakekat dari suatu hubungan hukum sehingga hubungan hukum tersebut menjadi khas. Misalnya : di dalam kontrak yang berupa jual beli, hubungan hukum yang merupakan inti adalah perbuatan dari si penjual. Oleh karena itu, menurut teori ini, hukum si penjual yang diberlakukan sebagai PLOC.

RENVOI

Adalah penunjukan kembali kepada sistem hukum yang semula menunjuk. Renvoi terjadi disebabkan karena di dalam penentuan SP negara-negara di dunia ada yang menganut Asas Domisili dan Asas Nasionalitas.





Renvoi Transmision





Gesant Verweisong : penunjukan (oleh negara A) terhadap Kollisionnorm (negara B).
Sachnormen Verweisong : penunjukan kembali (oleh negara B) terhadap Sachnormen (negara A).
Sikap menerima renvoi :
1. Penunjukan pertama (negara A) diarahkan pada Kollisonnormen (negara B).
2. Penunjukan kedua (negara B) diarahkan pada Sachnormen (negara A).
Sikap hakim menolak renvoi : penunjukan pertama diarahkan pada Sachnormen.

KUALIFIKASI

Kualifikasi adalah tindakan mengelompokkan fakta-fakta yang ada di dalam suatu peristiwa hukum ke dalam kategori hukum yang sudah ada. Fungsi kualifikasi : untuk menemukan hukum yang harus diterapkan terhadap peristiwa hukum tersebut. Pada dasarnya kualifikasi dibagi atas :
1. Kualifikasi fakta;
2. Kualifikasi hukum.
Masalah kualifikasi dalam HPI lebih rumit dibandingkan kualifikasi dalam persoalan hukum intern. Hal ini disebabkan karena :
1. Berbagai sistem hukum mempergunakan terminologi yang sama untuk menyatakan sesuatu yang berbeda. Contoh : Pengertian “domisili”.
2. Berbagai sistem hukum untuk menyatakan sesuatu/peristiwa yang sama tetapi diartikan dengan hal yang berbeda. Contoh : kedudukan istri bisa juga sebagai pewaris, bisa juga tidak.
3. Berbagai sistem hukum menempuh prosedur yang berbeda untuk menghasilkan sesuatu yang pada dasarnya sama. Contoh : hibah, berbeda antara Inggris dan Indonesia.

Konflik kualifikasi : pertentangan kualifikasi antar negara. Di dalam terjadinya kesulitan melakukan kualifikasi pada peristiwa HPI, pada dasarnya yang menjadi masalah pokok adalah :
1. Akan dikualifikasikan sebagai apa, fakta-fakta yang ada di dalam suatu peristiwa HPI;
2. Apa yang harus dilakukan oleh hakim/forum dalam hal terjadi suatu konflik kualifikasi.
Di dalam HPI kualifikasi ada bermacam-macam :
1. Kualifikasi Lex Fori; Penganut-penganut dari Lex Fori menyatakan juga bahwa ada pengecualiannya, yaitu mengenai masalah hakekat dari suatu benda, haruslah dikualifikasi berdasarkan Lex Sitae. Keunggulan pemakaian Lex Fori : hakim lebih mengerti hukumnya sendiri. Kelemahan Lex Fori : akan menimbulkan suatu ketidakadilan karena yang diterapkan bukan hukum negaranya sendiri.
2. Kualifikasi Lex Causa; Menurut Suryadi Hartono, kualifikasi berdasarkan Lex Causa sulit diterapkan bila sistem hukum asing tidak lengkap sistem kualifikasinya/ tidak mengenal lembaga hukum tersebut. Oleh karena itu, hakim akan melakukan suatu konstruksi-konstruksi hukum atau suatu analogi terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi yang sejenis, bagaimana penyelesaian hukumnya. Apabila hakim tidak menemukan peristiwa-peristiwa yang sejenis dalam permasalahan maka hakim barulah melakukan kualifikasi berdasarkan Lex Fori.
3. Kualifikasi Bertahap; Kualifikasi ini terdiri dari dua tahap yaitu :
a. Kualifikasi primer : hakim/forum mempergunakan kualifikasi secara Lex Fori. Kualifikasi ini untuk menemukan Lex Causa.
b. Kualifikasi sekunder : setelah Lex Causa ditemukan maka forum akan menggunakan kualifikasi berdasarkan Lex Causa.
4. Kualifikasi Otonom : Pada kualifikasi ini, forum mempergunakan metode perbandingan hukum. Teori perbandingan hukum ini dilakukan untuk mencari pengertian-pengertian HPI yang dapat berlaku di negara-negara manapun. Oleh karena itu, maka kualifikasi otonom ini sulit dilakukan karena hakim harus mengetahui semua sistem hukum di negara-negara dunia. Tujuan dilakukan kualifikasi otonom adalah menciptakan suatu sistem hukum HPI yang utuh dan sempurna yang memuat konsep-konsep dasar yang bersifat mutlak dan sempurna. Kualifikasi ini muncul, karena adanya konsep negara supranasional.
5. Kualifikasi HPI : Di dalam kualifikasi HPI bertitik tolak dari adanya pandangan bahwa setiap kualifikasi berdasarkan HPI dianggap mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai dalam melakukan kualifikasi terhadap suatu peristiwa hukum. Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai di dalam konteks kepentingan HPI mencakup :
a. Untuk kepentingan keadilan dalam pergaulan internasional;
b. Untuk terjadinya kepastian hukum dalam pergaulan internasional;
c. Untuk terjadinya ketertiban dalam pergaulan internasional;
d. Untuk terjadinya kelancaran di dalam lalu lintas pergaulan internasional.
Di dalam kualifikasi HPI, harus ditentukan terlebih dahulu, kepentingan HPI yang mana, yang ingin dicapai di dalam pelaksanaan kualifikasi tersebut.

KETERTIBAN UMUM

Ketertiban umum penting karena
Kegen mengatakan bahwa kepentingan umum berkaitan dengan hal-hal yang tidak dapat disentuh dari ketentuan-ketentuan Lex Fori sehingga menyebabkan ketentuan asing yang seharusnya diberlakukan tetapi tidak dapat diberlakukan karena bertentangan dengan asas-asas HPI Lex Fori.
Menurut Sunaryo Hartono mengatakan bahwa, sukar untuk memberikan rumusan apa yang dimaksudkan dengan ketertiban umum, karena hal tersebut berhubungan dengan waktu, tempat dan falsafah negara yang bersangkutan.
Sedangkan Gautama mengatakan bahwa, lembaga kepentingan umum haruslah berfungsi sebagai rem darurat dalam suatu kereta api yang tidak boleh dipergunakan setiap saat. Karena kalau digunakan setiap saat akan mengganggu pergaulan internasional.
Dengan demikian, apakah suatu sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan dalam menyelesaikan masalah HPI harus selalu dipergunakan ? Jawaban-nya tidak, hukum asing tidak selalu dipakai, apabila bertentangan dengan kepentingan umum dari hukum si forum.
Berdasarkan asas tradisional, fungsi dari kepentingan umum, ada dua macam yaitu :
1. Fungsi positip : untuk menjaga agar hukum tertentu dari forum tetap diberlakukan, tidak dikesampingkan sebagai akibat penentuan dari hukum asing yang diberlakukan yaitu untuk menghindarkan pemberlakuan dari aturan-aturan hukum asing tersebut akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran dari asas-asas HPI forum.
2. Fungsi negatip.

Pertanyaan : Apakah hubungan antara Fraus Legis dan Hak-hak yang diperoleh ? Apakah perbedaan antara Fraus Legis dan Ketertiban Umum ?
Baik pada penyelundupan hukum dan kepentingan umum tetap memakai Hukum Lex Fori dengan mengesampingkan hukum asing.
Fraus Legis bertentangan dengan hak-hak yang diperoleh dengan mengesamping-kan Lex Fori. Perbedaan Fraus Legis dan Kepentingan Umum : pada Fraus Legis seharusnya hukum asing diberlakukan tetapi karena penyelundupan hukum maka tidak dipakai, dan hukum asing tersebut tetap dapat dipakai terhadap perbuatan-perbuatan lain yang bukan penyelundupan hukum. Sedangkan pada Kepentingan Umum, hukum asing yang harus diberlakukan tidak boleh diberlakukan karena bertentangan dengan Lex Fori.
Fraus Legis adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghindarkan pemberlakuan sistem hukum tertentu yang seharusnya berlaku, sehingga dengan dilakukannya perbuatan tersebut baginya diberlakukan hukum lain dari yang seharusnya berlaku.
Di Perancis, berlaku suatu Asas Fraus Legis Omnia Corrumpit, artinya suatu perbuatan yang merupakan penyelundupan hukum mengakibatkan perbuatan hukum tersebut secara keseluruhan tidak berlaku atau tidak sah.

PILIHAN HUKUM

Asas-asas yang berkaitan dengan kontrak :
1. Pacta Sunt Servanda;
2. Kebebasan berkontrak;
3. Itikad baik para pihak;
4. Konsensus.

Di dalam pilihan hukum hanya dilakukan terhadap suatu kontrak. Berarti hukum yang sudah dipilih oleh para pihak merupakan hukum yang harus diberlakukan (PLOC). Kontrak yang tidak dapat dilakukan pilihan hukum antara lain :
1. Kontrak kerja internasional;
2. Jual beli senjata.
Pilihan hukum juga tidak dapat diberlakukan jika bertentangan dengan kepentingan umum (orde public) dari Lex Fori dan merupakan penyelundupan hukum.
Pilihan hukum hanya dapat dilakukan terhadap kelompok Sachnormen dari suatu sistem hukum tertentu, bukan ke arah Kollisionorm. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya Renvoi. Suatu pilihan hukum hanya dapat dilakukan untuk mengatur hak dan kewajiban yang timbul di dalam suatu kontrak, bukan untuk mengatur validitas pembentukan dari suatu perjanjian. Suatu pilihan hukum hanya dilakukan terhadap arah suatu sistem hukum yang berkaitan secara substansial dari kontrak tersebut, misalnya : kewarganegaraan, pusat administrasi, dan sebagainya.
Macam-macam pilihan hukum :
1. Pilihan hukum secara tegas : hukum yang dipilih untuk mengatur hak dan kewajiban yang dilakukan dinyatakan secara tegas dalam kontrak.
2. Pilihan hukum secara diam-diam : hukum yang dipilih oleh mereka, dapat hakim simpulkan dari sikap mereka di dalam bentuk dan isi kontrak yang mereka buat. Contoh : bahwa isi kontrak berdasarkan Pasal 1338 BW. Hakim melihat adanya kata “BW” menunjukkan sistem hukum yang menggunakan BW.
3. Pilihan hukum secara dianggap berlaku : suatu bentuk pilihan hukum yang dilakukan terhadap suatu perbuatan tertentu dari suatu sistem hukum tertentu sehingga mereka para pihak dianggap memilih suatu pilihan hukum tertentu. Contoh : perjanjian bagi hasil yang pembayarannya dengan cek. Perjanjian bagi hasil pada umumnya tunduk pada hukum adat, namun pembayarannya dengan “cek” dianggap mereka memilih sistem hukum yang pembayarannya dengan cek.
4. Pilihan hukum secara hypothetisch : pada pilihan hukum ini, para pihak justru tidak melakukan pilihan hukum terhadap suatu sistem hukum tertentu melainkan hakimlah yang melakukan pilihan hukum dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi di dalam suatu kontrak.

PERSOALAN PENDAHULUAN (VORFRAGE)

Persoalan pendahuluan adalah persoalan atau masalah yang harus dikerjakan terlebih dahulu sebelum hakim memutuskan masalah pokok (Mainfrage).
Contoh 1 :




Keterangan Kasus :
A warga negara Italy
B warga negara Swiss
A dan B domisili dan kawin di Swiss
C warga negara Swiss
D warga negara Spanyol
A dan B cerai di Swiss
B akan menikah dengan C
A menikah dengan D
Gugatan : B menggugat A bahwa pernikahan A dan D tidak sah, maka untuk menyelesaikan kasus tersebut maka hakim harus melihat terlebih dahulu persoalan pendahuluannya yaitu :
1. Apakah cerai A dan B sah?
2. Apakah perkawinan A dan B sah?

Contoh 2 : Persoalan pendahuluan yang berkaitan dengan Fraus Legis.
A (paman) hendak menikah dengan B (keponakan). Keduanya warga negara Israel (Yahudi) yang berdomisili di Amerika Serikat. Menurut hukum AS, keduanya tidak boleh menikah karena masih ada hubungan darah, padahal menurut hukum Yahudi diperbolehkan. Untuk itu mereka pindah ke Rhode Icelands dan menikah secara Yahudi di sana. Setelah menikah di sana mereka balik lagi ke Amerika.
Setelah 32 tahun kemudian, B meninggal dunia dan meninggalkan Suami (A) dan 6 orang anak serta harta warisan yang semuanya dikuasai oleh A. Anak-anak tidak puas atas penguasaan harta warisan oleh ayahnya dan menggugat ke Pengadilan AS bahwa Si A tidak berhak menguasai harta warisan karena pernikahannya merupakan Fraus Legis. Persoalan pendahuluan : Apakah pernikahan A dan B sah ?

Di dalam pemecahan masalah pendahuluan pada dasarnya ada dua cara :
1. Absorbsi : di dalam memecahkan persoalan pendahuluan, forum harus mencari Lex Causa di dalam persoalan pokok. Lex Causa ditemukan didasarkan pada fakta-fakta (Titik Pertalian). Setelah Lex Causa ditemukan maka persoalan pendahuluan diselesaikan berdasarkan Lex Causa tersebut.
2. Repartition : di dalam forum memecahkan/menyelesaikan persoalan pendahuluan, forum tidak perlu mencari Lex Causa, akan tetapi untuk menyelesaikan persoalan pendahuluan, forum menggunakan Lex Fori, kemudian untuk menyelesaikan masalah pokok forum mempergunakan Lex Causa.
Para ilmuwan mengenai persoalan pendahuluan ini, menyatakan bahwa untuk menentukan adanya suatu persoalan pendahuluan harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, yaitu :
1. Di dalam persoalan HPI tersebut harus dipergunakan hukum asing;
2. Bahwa dari HPI hukum asing tersebut harus berlainan hasilnya dari kaidah-kaidah forum;
3. Bahwa hukum materiel intern dari kedua stelsel hukum tersebut juga harus berbeda.


HUKUM PAJAK

Posted On 01.50 by Dogel Blast 0 komentar

Pengertian Pajak
Dilihat dari segi hukum : perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang untuk memenuhi syarat (tatbestand) yang ditentukan dalam undang-undang untuk membayar sejumlah tertentu kepada negara yang dapat dipaksakan, tanpa jasa timbalnya yang langsung ditunjuk, untuk membiayai pengeluaran negara.

Pengertian Hukum Pajak
Hukum Pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak.

Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata
Hubungannya bersifat timbal balik, hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa hal sebagai berikut :
1. di satu pihak hukum pajak banyak sekali menggunakan istilah dalam hukum perdata dan sekaligus mengandung arti yang berlaku di dalam hukum perdata. Meskipun demikian tidak jarang bahwa hukum pajak menggunakan istilah yang mempunyai arti berlainan di dalam hukum perdata. Misalnya : kata “domicilie”.
2. bahwa hukum pajak menjadikan peristiwa-peristiwa, misalnya : kelahiran, kematian; keadaan misalnya : kekayaan, kebangsaan seseorang; kejadian misalnya : jual beli, sewa menyewa, yang ada dalam hukum perdata sebagai sasaran pengenaan pajak. Hal-hal tersebut di atas (peristiwa, keadaan, kejadian) dijadikan syarat (tatbestand) yang diletakan dalam UU Pajak dan apabila dipenuhi, menyebabkan seseorang dikenakan pajak.
3. hukum perdata yang merupakan hukum umum yang meliputi segala-galanya dan hukum pajak sebagai bagian dari hukum publik yang merupakan hukum khusus harus juga mengikuti hukum perdata TUN kecuali ditentukan dengan tegas oleh UU dengan ketentuan yang menyimpang.

Hubungan Hukum Pajak Dengan Hukum Pidana

Pembagian Hukum Pajak

Dasar Hukum Pemungutan Pajak
1. Pasal 23A UUD 1945 Amandemen ke 3 : pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan UU. Pasal ini selain sebagai dasar hukum pemungutan pajak mempunyai arti lain yang lebih mendalam yaitu di dalamnya terkandung falsafah pemungutan pajak.
2. Pasal 16 Indische Comptaliteits Wet (ICW)/Undang-Undang Perbendaharaan Hindia Belanda : bahwa semua peraturan yang bermaksud menaikan pajak-pajak, mengadakan pajak-pajak, menurunkan/menghapus pajak tidak dapat berlaku sebelum sejumlah uang sebagai akibat penyewaan, penurunan, …. diperhitungkan dalam anggaran negara.
3. Pasal 17 ICW : bahwa semua pengembalian atau pelepasan pajak hanya dapat dilakukan dalam hal-hal hanya dengan cara-cara yang telah ditetapkan dalam UU.

Syarat-Syarat Pembuatan Undang-Undang Pajak
Menurut Adam Smith agar suatu UU Pajak dirasakan adil harus memenuhi syarat :
1. Equality of Equity : keadaan/syarat yang sama diperlakukan sama
2. Certainty : kepastian hukum
3. Convenience of Payment : enak walau bayar
4. Economics of Collection : harus mempertimbangkan antara besarnya pajak dan biaya pemungutan pajak
Sedangkan menurut Rochmat Soemitro :
1. Syarat Yuridis : uu pajak harus memberikan kepastian hukum
2. Syarat Ekonomis : pajak tidak boleh membebani rakyat, menghalangi lancarnya perdagangan, mengurangi kebahagiaan rakyat, ditagih pada waktu yang tepat
3. Syarat Keuangan/finansial : pajak dipungut cukup untuk menutup sebagian pengeluaran negara, tidak memakan ongkos pemungutan pajak yang besar
4. Syarat Sosiologis : pajak harus dipungut sesuai kebutuhan masyarakat maka harus mendapatkan persetujuan masyarakat

Retribusi, Sumbangan, Bea dan Cukai
Retribusi adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah, di mana pembayarnya mendapatkan imbalan secara langsung dari pemerintah yang dapat ditunjuk.
Sumbangan adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap golongan tertentu dan kontra prestasi secara langsung dari pemerintah hanya ditujukan pada golongan tertentu saja. Misalnya : sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan raya.
Bea adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap jumlah harga barang yang dimasukan atau dikeluarkan melalui daerah pabean. (UU No.10/1995).
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan pada barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik tertentu. Misalnya : etanol, sigaret, cerutu, dan lain-lain. (UU No.11/1995).

Pengelompokan/Pembedaan Pajak
A. Golongannya :
1. Pajak Langsung :
a. PL dalam arti administratif : mempunyai kohir dan dipungut berulang-ulang dalam waktu tertentu
b. PL dalam arti ekonomis : pajak harus dibayar sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan
2. Pajak Tidak Langsung :
a. PTL dalam arti administratif : yang tidak mempunyai kohir dan dipungut apabila terjadi hal-hal atau peristiwa tertentu
b. PTL dalam arti ekonomis : pajak yang beban pembayarannya dapat dilimpahkan kepada orang lain
B. Sifatnya :
1. Pajak Subyektif : berpangkal pada orangnya dan untuk dapat mengenakan pajak ini dicari ukuran obyeknya
2. Pajak Obyektif : berpangkal pada obyeknya dan untuk mengenakan pajak ini dicari subyeknya. Pajak ini dipungut karena keadaan, perbuatan dan kejadian.
C. Pemungutnya :
1. Pajak Pusat
2. Pajak Daerah
Manfaat Pengelompokan atas Pajak Langsung atau Pajak Tidak Langsung :
1. untuk sistematika dalam ilmu pengetahuan; untuk menentukan saat timbulnya hutang pajak, kadaluwarsa, tagihan susulan, dan lain-lain
2. untuk menentukan cara mengajukan proses karena perselisihan mengenai pajak. Pajak langsung biasanya diselesaikan di dalam pengadilan yang bersifat khusus yaitu Pengadilan Pajak (UU No.14/2002). Sedangkan perselisihan mengenai Pajak Tidak Langsung diselesaikan di muka hakim biasa.
3. untuk kekebalan wakil-wakil diplomatik negara asing, karena biasanya wakil-wakil diplomatik dari negara asing dapat dikecualikan dari pengenaan pajak langsung sedangkan pajak tidak langsung tidak diberikan pengecualian.
4. untuk sistematika anggaran, karena untuk pajak langsung yang mempunyai surat ketetapan, uang pajak yang masuk dapat diperkirakan dengan seksama, sedangkan pajak tidak langsung yang dipungut karena hal-hal yang menyebabkan dikenakan pajak dan tidak mempunyai surat ketetapan, uang yang masuk sulit diperkirakan.

Fungsi Pajak
1. Utama
a. Fungsi Budgeter : yang terletak pada sektor publik yaitu pajak berfungsi sebagai alat untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya sesuai ketentuan UU yang berlaku, yang hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara
b. Regulerend : yang letaknya ada pada sektor swasta yaitu fungsi pajak yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan
2. Tambahan
a. Fungsi Demokrasi : merupakan salah satu wujud dari sistem gotong royong. Fungsi ini sering dikaitkan dengan hak seseorang apabila akan memperoleh layanan dari pemerintah
b. Fungsi Distributif : fungsi ini lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan di dalam masyarakat.

Subyek Pajak
Subyek Pajak adalah orang, badan/kesatuan yang lain yang memenuhi syarat-syarat subyek pajak yakni berdomisili di atau mempunyai hubungan ekonomi dengan Indonesia.
Subyek Pajak terdiri dari :
a. Subyek Pajak Dalam Negeri :
- orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam waktu 12 bulan atau 1 tahun dan berniat tinggal di Indonesia
- badan yang didirikan/berdomisili di Indonesia
- warisan yang belum terbagi sebagai satu-kesatuan menggantikan yang berhak
b. Subyek Pajak Luar Negeri :
- orang pribadi yang tidak berdomisili/berada di Indonesia kurang dari 183 hari yang menjalankan kegiatan usaha melalui badan hukum di Indonesia
- orang pribadi/badan yang tidak berdomisili di Indonesia kurang dari 183 hari tetapi menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Wajib Pajak
Wajib Pajak adalah subyek pajak yang memenuhi syarat-syarat obyektif yaitu menerima atau memperoleh penghasilan kena pajak. Subyek pajak harus memenuhi syarat-syarat obyektif yaitu menerima/memperoleh penghasilan kena pajak agar dapat dikenakan sebagai wajib pajak.
Kewajiban wajib pajak :
1. mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP – Pasal 2 KUP
2. mengambil blangko surat pemberitahuan dan blangko lainnya – Pasal 3(2) KUP
3. mengisi dengan lengkap dan benar SPT – Pasal 4(1) KUP
4. mengembalikan SPT yang telah diisi – Pasal 3(1) KUP
5. membayar pajak – Pasal 9(1) jo Pasal 10(1) KUP
6. mengadakan pembukuan – Pasal 28 (1,2) LUP
7. menghitung sendiri jumlah pajak yang terhutang – Pasal 12 KUP
8. memperlihatkan pembukuan – Pasal 29(3) KUP
Hak-hak wajib pajak :
1. menerima tanda bukti pemasukan SPT – Pasal 6(1) KUP
2. mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT – Pasal 3(4) KUP
3. melakukan pembetulan sendiri SPT yang telah dimasukkan – Pasal 8(1) KUP
4. mengajukan permohonan penundaan dan pengangsuran pajak sesuai dengan kemampuannya – Pasal 9(4) KUP
5. mengajukan permohonan perhitungan atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak serta berhak memperoleh kepastian terbitnya SK Kelebihan pembayaran pajak – Pasal 11(1) jo Pasal 17 (2) KUP

Sanksi-Sanksi Di Dalam Perpajakan
1. Sanksi Administrasi :
- Denda (Pasal 7, 14(4) KUP)
- Bunga
- Kenaikan
2. Sanksi Pidana :
- Kealpaan
- Kesengajaan

Asas, Stelsel Dan Sistem Pemungutan
Asas Pemungutan Pajak :
1. Asas Domisili/Domicilie Beginsel : negara di mana wajib pajak berdomisili, negara itulah yang berhak mengenakan pajak terhadap wajib pajak tersebut dari semua penghasilan di mana saja diperolehnya.
2. Asas Sumber : negara di mana sumber-sumber penghasilan itu berada maka negara itulah yang berhak memungut tanpa menghiraukan tempat tinggal wajib pajak yang bersangkutan.
3. Asas Kebangsaan
Stelsel Pemungutan Pajak :
1. Riel Stelsel/Stelsel Nyata : mendasarkan pengenaan pajak pada penghasilan yang nyata-nyata diperoleh wajib pajak dalam satu tahun pajak. Karena penghasilan yang sesungguhnya diperoleh dalam 1 tahun pajak baru diketahui pada akhir tahun, maka pajak baru dapat dikenakan setelah lampau tahun yang bersangkutan dan dikenakan di belakang/kemudian (Navefting).
2. Fictieve Stelsel/Stelsel Anggap : suatu stesel yang di dalam mengenakan pajak didasarkan pada suatu fictie/anggapan. Anggapan tersebut tergantung pada bunyi undang-undang yang mengaturnya.
3. Stelsel Campuran : merupakan kombinasi dari stelsel nyata dan stelsel anggapan. Dalam stelsel ini, pengenaan pajak mula-mula didasarkan pada stelsel anggapan kemudian setelah tahun pajak berakhir dilakukan koreksi dengan menggunakan stelsel nyata.
Sistem Pemungutan Pajak :
1. Official System : sistem pemungutan pajak di mana besarnya pajak yang harus dibayar/terhutang oleh wajib pajak diatur oleh aparatur perpajakan/fiskus.
2. Self Assesment System : sistem pemungutan pajak yang mana wewenang menghitung besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak diserahkan kepada wajib pajak yang bersangkutan. Dalam sistem ini wajib pajak sendiri yang harus aktif menghitung besarnya pajak yang terhutang, membayar dan melapor kepada Kantor Pelayanan Pajak, sedangkan aparatur perpajakan hanya bertugas memberi penerangan, pengawasan atau sebagai verifikator. Sistem ini dianut oleh UU No.16/2000. Hal ini nyata dari penjelasan umum UU No.16/2000 butir 3 huruf c yang menyatakan bahwa anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan dan membayar serta melaporkan sendiri pajak yang terhutang.
3. With Holding System
4. Sistem MPS dan MPO

Dasar Untuk Menghitung Besarnya Pajak
Untuk dapat menghitung besarnya pajak diperlukan 2 unsur yaitu :
a. Jumlah dasar perhitungan : jumlah dasar perhitungan dan cara mendapatkannya ditentukan dalam masing-masing UU Pajak. Misalnya : Untuk Pajak Penghasilan; jumlah dasar perhitungan : Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Bruto – Penghasilan Tidak Kena Pajak. Menurut SK Menteri Keuangan No. 564/KMK.03/2004 : Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah :
- Untuk wajib pajak sendiri Rp. 12.000.000,00
- Untuk wajib pajak yang kawin + tambahan Rp. 1.200.000,00
- Untuk istri bekerja + tambahan Rp. 12.000.000,00
- Untuk 1 org tanggungan + Rp 1.200.000 (Max 3 org) Rp. 3.600.000,00
- JUMLAH MAKSIMAL PTKP Rp. 28.800.000,00
b. Tarif
Tarif perpajakan ada beberapa macam :
1. Tarif Tetap (Vast) : tarif pemungutan pajak yang jumlah besarnya tetap, tidak berubah jika jumlah yang dijadikan dasar perhitungan berubah. Contoh : Bea Meterai
2. Tarif Proposional : tarif pemungutan pajak yang merupakan persen yang tetap tidak berubah tetapi jika yang menjadi dasar perhitungan berubah, maka jumlah pajak yang harus dibayar berubah juga. Contoh : Pasal 23 PPh : bunga, deviden, royalti WP dalam negeri : 15 %. Pasal 5 PBB : NJOPKP : 5 %
3. Tarif Progresif : tarif pemungutan pajak yang pungutan prosentasenya makin naik apabila yang dipakai sebagai dasar perhitungan menjadi naik/lebih besar.
4. Tarif Degresif : tarif pemungutan pajak yang pungutan prosentasenya makin turun apabila yang dipakai sebagai dasar perhitungan menjadi naik/lebih besar.
5. Tarif Efektif Rata-Rata : suatu tarif pemungutan pajak yang diterapkan atas keuntungan karena penjualan harta pribadi baik bergerak/tidak bergerak yang tidak termasuk dalam harta perusahaan.

Timbulnya Hutang Pajak

Penagihan Hutang Pajak

Kadaluwarsa

Berakhirnya Atau Hapusnya Hutang Pajak :
1. pembayaran
2. kompensasi/penyetimbangan
3. pembebasan hutang
4. pembatalan/batal demi hukum
5. kadaluwarsa

Pajak Ganda
Sering terjadi bahwa untuk obyek yang sama terjadi pungutan ganda, artinya untuk obyek yang sama dikenakan pajak yang sama atau jenis yang sama dua kali atau lebih untuk subyek yang sama. Untuk itu dilakukan pemindahan pajak ganda dengan cara-cara sebagai beikut :
a. Pajak Ganda Nasional : untuk menghindarkan pajak ganda nasional, wajib pajak dapat langsung, mengkreditkan (mengurangkan) PPh yang telah dipotong pada sumbernya oleh si pembayar dengan PPh terutang yang dihitung sendiri. Apabila PPh ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak maka dengan sendirinya PPh yang telah dipotong pada sumbernya akan diperhitungkan/dikreditkan dengan PPh terhutang. Dengan demikian pungutan pajak ganda nasional dapat dihapuskan/diindahkan. Apabila karena kelalaian terjadi tidak dilakukan perhitungan kredit maka hal ini dapat dimintakan kemudian dan pasti dikabulkan Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak.
b. Pajak Ganda Internasional : pajak ganda internasional ini dapat dihilangkan/dicegah dengan dua cara :
1. cara unilateral : cara yang dilakukan sendiri oleh negara yang bersangkutan dengan memasukan cara pencegahan pajak ganda itu di dalam UU Nasional sendiri berdasarkan prinsip-prinsip pencegahan pajak ganda internasional tanpa bantuan negara wajib pajak ybs.
2. cara bilateral : cara mencegah pajak ganda internasional dengan mengadakan perjanjian pencegahan pajak ganda antara negara yang satu dengan negara yang lain.

Peradilan Pajak

Surat Keberatan
Surat keberatan biasanya diajukan bila terjadi perselisihan mengenai jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak. Hak wajib pajak untuk mengajukan keberatan ini diatur dalam Pasal 25 (1) KUP yang menentukan wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Ditjen Pajak atas suatu :
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
c. SKPKB Tambahan
d. SKP Lebih Bayar
e. SKP Nihil
f. Pemotongan/pemungutan oleh pihak ke-3 berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Apabila keputusan keberatan yang diberikan oleh Dirjen Pajak tersebut belum memuaskan maka wajib pajak yang bersangkutan dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga terhadapnya tidak dapat lagi diajukan banding atau kasasi, tetapi hanya dapat mengajukan peninjauan kembali.

Pokok Perselisihan

Pengajuan Surat Keberatan

Isi Surat Keberatan

Beban Pembuktian

Keputusan Atas Keberatan

Pengadilan Adminstrasi Murni

Putusan Pengadilan Pajak

Peninjauan Kembali

Gugatan

Penagihan Seketika Dan Sekaligus

Pencegahan Dan Penyanderaan
Pencegahan adalah halangan yang bersifat sementara terhadap penanggung pajak tertentu untuk keluar dari wilayah RI berdasarkan alasan-alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Khusus untuk masalah perpajakan maka pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang memenuhi 2 syarat yaitu :
1. syarat kuantitatif : apabila penanggung pajak mempunyai hutang pajak sekurang-kurangnya 100 juta rupiah
2. syarat kualitatif : syarat mengenai diragukan itikad baik penanggung pajak yang bersangkutan di dalam melunasi hutang pajak.
Penyanderaan adalah pengekangan untuk sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkan di tempat tertentu. Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak bila memenuhi 2 syarat yaitu :
1. syarat kuantitatif : apabila penanggung pajak mempunyai hutang pajak sekurang-kurangnya 100 juta rupiah
2. syarat kualitatif : dilakukan itikad tidak baik penanggung pajak yang bersangkutan di dalam melunasi hutang pajak. Misalnya : disembunyikannya harta kekayaan untuk melunasi hutang pajak.

Dasar Teori Pemungutan Pajak
a. Teori Asuransi
b. Teori Daya Pikul : seorang wajib pajak membayar pajak sesuai daya pikulnya. Daya pikul menurut Prof Delangen : kekuatan seseorang untuk memikul beban dari apa yang tersisa dari seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran kebutuhan primer diri sendiri dan keluarganya. Sedangkan daya pikul menurut Ir. Cohan Stuart : sama dengan kekuatan jembatan memikul beban yang melewati jembatan itu.
c. Teori Kepentingan
d. Teori Daya Beli
e. Teori Kewajiban Pajak Mutlak
f. Teori Pembenaran Menurut Pancasila


CATATAN HUKUM ACARA PIDANA

Posted On 01.34 by Dogel Blast 0 komentar

PENYELIDIKAN

Jangka waktu penyelesaian kasus pidana :
1. BAP : 60 (20-40) hari
2. Surat Dakwaan : 50 (20-30) hari
3. Penuntutan : 90 (30-60) hari
4. Banding : 90 (30-60) hari
5. Kasasi : 110 (50-60) hari
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur undang-undang.

PENYIDIKAN

Adalah proses untuk menemukan barang bukti dan tersangkanya, yang berdasarkan pada laporan, pengaduan, tertangkap tangan. Penyidik dapat menghentikan penyidikan (SP3) karena (Pasal 109 KUHAP Ayat 2):
1. tidak terdapat cukup bukti
2. peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana
3. penyidikan dihentikan demi hukum
Wewenang penyidik(Pasal 7 KUHAP) :
1. menerima laporan/pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
2. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
3. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan
4. mengambil sidik jari dan memotret seseorang
5. mengadakan penghentian penyidikan
6. memanggil orang untuk dipanggil sebagai saksi, dll.

PENAHANAN

Adalah penahanan terdakwa pada tempat tertentu yang sudah ditetapkan oleh uu. Penahanan meliputi 3 jenis (Pasal 22 KUHAP) :
1. penahanan dalam rutan :
2. penahanan rumah
3. penahanan kota
Alasan/dasar penahanan yaitu :
1. alasan menurut kepentingan (Pasal 21 (1) : kuatir terdakwa melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengulangi tindak pidana
2. alasan yuridis (Pasal 21(4) : ancaman 5 tahun penjara, tindak pidana dimaksud dalam pasal 282(3), 296, 335(1), 351(1), 353(1), dll.
Penahanan terhadap terdakwa dapat dilakukan permohonan penangguhan penahanan diajukan kepada penyidik dengan jaminan uang atau orang.

PRAPERADILAN

Praperadilan digunakan untuk memeriksa penyidik dan jaksa penuntut umum jika tidak melaksanakan perintah KUHAP (Pasal 1 dan 77 KUHAP). Jangka waktunya : 7 hari sampai vonis dengan hakim tunggal.
Praperadilan diajukan dengan alasan untuk memeriksa dan memutus :
1. sah atau tidaknya penahanan : diajukan tersangka, keluarganya, kuasa hukum.
2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan/penuntutan : diajukan oleh penuntut umum, penyidik, korban, pihak ketiga (keluarga).
3. permintaan ganti rugi atau rehabilitasi : diajukan oleh tersangka/keluarganya, pihak lain yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Jika sudah memeriksa pokok perkara maka praperadilan dihentikan.

PENUNTUTAN

Penuntut Umum dapat menghentikan perkara pidana (SP3) dalam hal (Pasal 140 ayat 2 KUHAP):
1. tidak terdapat cukup bukti
2. peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana
3. perkara ditutup demi kepentingan hukum
Perbedaan SP3 dengan deponering (demi keptngan umum) : dalam SP3 tersangka tidak terbukti melakukan tindak pidana sedangkan dalam deponering tersangka terbukti melakukan tindak pidana.

PEMBUKTIAN

Sistem pembuktian yang dianut KUHAP adalah pembuktian menurut uu secara negatif yaitu gabungan sistem pembuktian menurut uu secara positif dan keyakinan hakim. (Pasal 183 KUHAP). Artinya untuk menentukan salah tidaknya terdakwa :
1. sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
2. atas dua alat bukti hakim harus mempunyai keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa yang melakukan
Macam-macam alat bukti (Pasal 184 (1)) :
1. keterangan saksi
2. keterangan ahli
3. surat
4. petunjuk
5. keterangan terdakwa

EKSEKUSI

Pelaksanaan eksekusi dilakukan oleh jaksa. Perbedaan pelaksanaan eksekusi mati berdasarkan KUHP (Pasal 11) dan UU No. 2/PNPS/1964 :
KUHP :
- dilaksanakan oleh algojo
- gantungan pada leher terpidana
- menjatuhkan tempat terpidana berdiri
UU No. 2/PNPS/1960 :
- dilakukan 12 orang tamtama
- dipimpin 1 perwira
- jarak tembak 5-10 m
- dokter periksa : sudah mati (jika belum disuntik)
- membuat berita acara eksekusi
Eksekusi mati tidak dapat langsung dilaksanakan karena harus melalui proses peninjauan kembali dan grasi yang dilakukan baik oleh terpidana, hakim maupun jaksa.

BANDING

Pihak yang dapat mengajukan : terdakwa/kuasa hukum dan penuntut umum
Putusan yang diajukan : putusan tingkat pertama kecuali putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, putusan pengadilan dalam acara cepat (Pasal 67).
Alasan banding : pemohon tidak setuju dan keberatan atas putusan yang dijatuhkan
Proses pengajuan :
1. Pasal 233(2) : diterima oleh panitera PN paling lambat 7 hari setelah putusan
2. Pasal 234(2) : panitera mencatat dan membuat akta, dilekatkan pada berkas perkara.
3. Pasal 235(1,2) : dapat dicabut sewaktu-waktu, tidak dapat diajukan lagi. Jika sedang diperiksa dibebani biaya perkara.
4. Pasal 236(1) : paling lambat 14 hari sejak diajukan panitera mengirimkan berkas putusan PN, berkas perkara serta bukti ke PT
Memori banding memuat tiga hal :
3. memuat putusan negeri mana dan amar bagaimana
4. memuat permohonan hak banding sesuai peraturan/sesuai prosedur ketentuan uu
5. alasan-alasan/pertimbangan mengapa banding itu diajukan oleh pemohon
Akibat banding :
1. putusan menjadi mentah kembali
2. segala sesuatu mjd tanggung jawab PT sejak banding
3. putusan tidak mempunyai daya eksekusi
Tiga cara mengemukakan alasan banding :
1. umum : banding atas keputusan yang dijatuhkan tanpa menyebut satu-persatu hal mana yang dianggap tidak tepat
2. terperinci : pemohon merinci satu-persatu yag dianggap tidak tepat dalam putusan
3. hal tertentu : diaujukan hanya pada hal tertentu saja, mis : banding hanya mengenai beratnya pidana yang dijatuhkan.

KASASI

Pihak yang mengajukan : terdakwa, penuntut umum.
Perkara yang diajukan(Pasal 244):semua perkara pada tingkat PT kecuali putusan bebas.
Alasan (Pasal 253 Ayat 1) :
- apakah benar suatu peraturan hukum tidak ditetapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya
- apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang
- apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya
Prosedur (Pasal 245, 247) :
- disampaikan kepada panitera pengadilan tingakat pertama
- jangka waktu 14 hari setelah putusan dibertahukan kepada terdakwa
- permintaan tersebut ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera dan pemohon
- selama permohon kasasi belum diputus MA, permohonan kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut tidak dapat diajukan lagi
- dalam hal permohonan kasasi sudah diperiksa MA dan pemohon mencabut kasasinya maka pemohon dikenakan biaya perkara yang dikeluarkan MA hingga saat pencabutannya
- permohonan kasasi hanya diajukan 1 kali
- pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan kasasi dalam jangka waktu 14 hari setelah mengajukan permohonan tersebut, panitera membuat surat tanda terima.

KASASI DEMI KEPENTINGAN HUKUM

Pihak yang dapat mengajukan : Jaksa Agung (Pasal 259 Ayat 1)
Putusan yang diajukan : putusan PN dan PT yang memiliki kekuatan hukum tetap (Pasal 259 Ayat 1)
Proses pengajuan kasasi demi kepentingan hukum (Pasal 260):
1. diajukan secara tertulis ke MA melalui panitera PN disertai risalah alasan
2. risalah segera disampaikan kepada pihak yang berkepentingan
3. Ketua PN segera meneruskan permintaan itu ke MA.

PENINJAUAN KEMBALI

Pihak yang mengajukan : terpidana atau ahli warisnya kepada MA.
Putusan yang diajukan : putusan kekuatan hukum tetap , kecuali putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 263 Angka 1)
Alasan permintaan peninjauan kembali :
1. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketetntuan pidana yang lebih ringan.
2. apabila ada pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu yang telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar atau alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
3. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau sesuatu kekeliruan yang nyata.
4. apabila dalam putusan itu sesuatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Proses pengajuan peninjauan kembali (Pasal 264):
1. diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebuntukan secara jelas alasannya
2. permintaan tersebut dibuat surat keterangan oleh panitera dan dilampirkan dalam berkas perkara.
3. permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan jangka waktu.
4. apabila pemohon yang tidak memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali.
5. Ketua PN segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta berkas perkaranya kepada MA, disertai suatu catatan penjelasan.

VERZET

Pihak yang mengajukan : terdakwa, penuntut umum
Perkara yang diajukan : perkara yang masih dalam proses pemeriksaan
Alasan :
1. Pasal 29 Ayat 7 KUHAP : terhadap perpanjangan penahanan
2. Pasal 149 Ayat 1 KUHAP : terhadap penetapan PN yang memuat bahwa perkara pidana tidak termasuk wewenangnya
3. Pasal 156 Ayat 3 KUHAP : diterima eksepsi terdakwa
4. UU Drt No. 4 /1971 : terhadap perampasan barang-barang
Prosedur :
1. Pasal 29 Ayat 7 KUHAP
Keberatan atas penahanan di tingkat :
a. penyidikan dan penuntutan kepada PT
b. pemeriksaan PN dan PT kepada MA
2. Pasal 149 Ayat 1 KUHAP
- mengajukan perlawanan kepada PT
- jangka waktu 7 hari setelah penetapan tentang kewenangan mengadili
- disampaikan kepada Ketua PN dan dicatat dalam buku daftar panitera
- dalam 7 hari PN wajib meneruskan ke PT
3. Pasal 156 Ayat 3 KUHAP
- diajukan kepada PT melalui PN yang bersangkutan
- dalam hal perlawanan diterima PT maka dalam waktu 14 hari PT dengan surat penetapannya membatalkan putusan PN dan memerintahkan PN yang berwenang untuk memeriksa perkara itu
4. UU Drt No. 4 1971


Diberdayakan oleh Blogger.