Pelajaran Blog Khusus Bagi Pemula Lugas dan Penting Forantum I Blogging is My Life I Tutorial Blog I Tips dan Trik Blog I SEO I Free Template

Kamis, 04 Februari 2010

Pemimpin Profetik, Pemimpin Antikorupsi


10.05 |

Oleh David BW Pandie
Rabu, 27 Januari 2010 | 08:04 WITA

GEJALA merosotnya moralitas para pemimpin dalam lembaga-lembaga pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) terus berlangsung di tengah gelombang pasang bangsa ini membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Pemerintah seolah terjebak dalam kondisi paradoksal, di mana langkah pemberantasan korupsi dan modus melestarikan korupsi mengalami kohabitas.

Keduanya tumbuh bersama-sama. Gerakan antikorupsi dan prokorupsi sulit diurai secara kategorial, karena lembaga yang diberi kewenangan menangkap dan menghukum koruptor, juga sangat rawan terkontaminasi toksin korupsi. Ksatria hukum yang diberi tugas menangkap koruptor, faktanya dapat dijinakkan oleh akrobatik 'mafia hukum'. Mulai dari tahapan investigasi, penuntutan, sampai dalam sel penjara mafioso hukum merajalela. Mafia hukum/peradilan merupakan lahan paling subur menumbuhkembangkan korupsi di tanah air.

Kita menghargai ikhtiar pemerintah memerangi mafia hukum melalui pembentukan tim khusus pemberantasan mafia hukum. Akan tetapi, efektivitas pemberantasan korupsi tidak hanya terbatas pada pendekatan parsial, kasuistik dan temporal yang diambil karena tekanan publik. Diperlukan langkah-langkah edukatif-preventif yang lebih sistematis untuk membangun postur birokrasi dengan genetika baru antikorupsi. Perubahan radikal demikian sangat dianjurkan agar bangsa ini terhindar dari jebakan 'katak rebus', yaitu bangsa yang merasa mapan dan menikmati air yang sementara mulai menghangat menuju titik didih yang apabila tidak dihentikan segera akan merebus bangsa ini seperti katak yang mati konyol.

Mengapa selama ini reformasi birokrasi terkesan kurang efektif mereduksi korupsi sampai ke akar-akarnya? Karena faktor kepemimpinan birokrasi belum mengalami reinkarnasi dari pemimpin koruptif menjadi pemimpin jujur dan bersih. Krisis integritas para pemimpin merupakan variabel determinan yang mempermarak budaya korupsi. Sudah menjadi aksioma, peran pemimpin tidak hanya sebagai manejer untuk menggerakkan organisasi mencapai tujuan, tetapi pada diri sang pemimpin, watak dan kepribadian organisasi dibangun. Melalui pemimpin, nilai dan norma ditransmisikan kepada seluruh anggota organisasinya. Para birokrat belajar berperilaku dengan mengimitasi perilaku bosnya setiap hari. Referensi perilaku birokrasi bukan berasal dari buku teks etika birokrasi dan peraturan hukum.

Pada era orde baru, birokrasi umumnya menganut corak kepemimpinan otoriterisme yang meniscayakan KKN, sehingga pola kepemimpinan demikian merasuk dalam kromosom organisasi birokrasi dan teraktualisasi dalam perilaku otoriter-koruptif. Meskipun kini Indonesia telah melampaui rezim orde baru, namun warisan perilaku koruptif tidak mengalami diskontinuitas. Buku George Junus Aditjondro tentang Membongkar Gurita Cikeas yang ditanggapi miring dan digugat oleh berbagai pihak, menguak satu benang merah, bahwa perilaku birokrasi ala orde baru masih memiliki daya hidup dalam pengelolaan kekuasaan.

'Guru kencing berdiri, murid kencing berlari', adalah adagium paling gamblang menggambarkan potret pemimpin sebagai sumber nilai bagi bawahan untuk memproyeksikan sikap dan perilakunya. Pegawai menghabiskan waktunya rata-rata 8-10 jam di tempat kerja, dan dalam iklim kantor yang didominasi oleh pemimpin korup sangat efektif mengonstruksi mindset bawahannya.

Pemimpin hegemonik mencitrakan dirinya sebagai hukum itu sendiri. Peraturan dan hukum formal dapat dikalahkan oleh sehelai memo atau instruksi pemimpin. Bawahan umumnya tidak berdaya menolak berbagai penyimpangan atasannya, karena nasib karier dan jabatannya berada dalam genggaman sang bos. Terpaan perilaku koruptif pemimpin secara berulang-ulang akan berimplikasi pada proses imitasi bagi pegawai. Melalui mekanisme demikian, adopsi perilaku koruptif terwarisi dan otomatis akan direplikasi oleh generasi penerus manakala giliran memimpin tiba. Suksesi pemimpin, suksesi korupsi, pelanjut akan menutupi borok pendahulu. Lingkaran setan ini terpelihara rapi. Di pihak lain, bawahan pemberontak yang tidak sealiran dengan atasan dianggap anomali dan patut didepak. Mereka laksana 'orang buangan' yang kesepian dalam pesta anggur kekuasaan atau menurut Sutrisno Bachir (mantan Ketua PAN), membeku dalam matahari.

Struktur dan kultur paternalistik demikian akan menyemai dan menumbuhkan mental koruptif dan otomatis melegitimasi kantor sebagai 'sekolah korupsi' atau habitus pembudidayaan perilaku KKN paling efektif. Karena itu, pemberantasan korupsi tanpa menjamah wilayah transformasi pemimpin birokrasi tidak mungkin efektif untuk membangun postur dan perangai birokrasi yang bersih dan profesional. Lembaga kepemimpinan birokrasi pada semua level harus direkayasa ulang melalui sistem pengaderan dan promosi yang lebih menekankan bobot, bibit dan bebet.

Keshavan Nair (1997) dalam bukunya A Higher Standard of Leadership mengajukan model kepemimpinan profetik sebagai jalan keluar mengatasi merosotnya integritas pemimpin publik. Pemimpin profetik berbasis pada kekuatan kebenaran, keadilan dan komitmen untuk melayani manusia (service for humanity). Pemimpin berwawasan profetik dibutuhkan sebagai ujung ekstrim dari kepemimpinan otoriter-koruptif yang menjunjung nilai-nilai asketisme, yakni hidup sederhana dan bermental pengorbanan diri (altruistic).

Reinventing spirit profetik yang hilang dari pemimpin birokratik perlu disemai kembali dalam desain pengkaderan kepemimpinan publik di Indonesia. Sepanjang sekolah pengkaderan kepemimpinan masih berakar kuat pada prinsip-prinsip militeristik yang membudayakan kekerasan dan memitoskan pemimpin sama dengan 'orang kuat', maka kekuaaan dipersepsi sama dengan kesewenangan untuk memperkaya diri. Demikian pula, kepemimpinan politik yang bertumbuh dari partai politik yang mendewakan ketua partai dan menolerir politik uang untuk merebut kekuasaan partai, mustahil dapat menelorkan pemimpin politik yang diandalkan menggunting gurita praktik KKN. Perguruan tinggi yang kini telah berorientasi bisnis dan mengabaikan pendidikan karakter juga menjadi penyumbang kader pemimpin oportunistik yang sensitif terhadap korupsi.

Dibutuhkan segera langkah berani untuk menyelamatkan lembaga kepemimpinan birokrasi dengan membangun paradigma baru kepemimpinan yang ramah terhadap kekuasaan. Tekanan publik sebagai amunisi perubahan diperlukan untuk mendorong bergeraknya dialektika kepemimpinan untuk menggeser pola kepemimpinan koruptif pada lembaga-lembaga pengkaderan kepemimpinan. Dibutuhkan penerapan opsi kepemimpinan profetik sebagai antitesa terhadap kepemimpinan koruptif. Semua lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengaderan kepemimpinan diharapkan mengkaji ulang kurikulumnya dengan mengarusutamakan nilai-nilai profetik guna membalikkan arah perjalanan bangsa yang kian jauh menyimpang dari koridor moral.

Bangsa-bangsa yang pemimpinnya menganut gaya profetik dapat membalik arah sejarah bangsanya. Cina dengan tangan besi menghukum mati pemimpin korup telah menggandakan kemajuan negara tersebut sebagai negara terdepan di dunia dalam kurun waktu 30 tahun. India dengan pemimpin revolusioner yang mengutamakan asketisme, hidup sederhana dan antikorupsi telah menjelma sebagai kekuatan ekonomi baru. Mimpi Indonesia sejajar dengan India dan Cina sebagai raksasa baru ekonomi dunia mustahil dapat tercapai, apabila pemimpin pada semua level masih menjadi sumber masalah. Bangsa besar memerlukan pemimpin besar (the greatman/woman), pemimpin besar menurut. Abraham Lincoln adalah pemimpin yang integritasnya tidak dipertanyakan lagi. *



Dosen Fisip Undana




You Might Also Like :


0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar, dan jangan lupa kembali lagi

Diberdayakan oleh Blogger.