Pelajaran Blog Khusus Bagi Pemula Lugas dan Penting Forantum I Blogging is My Life I Tutorial Blog I Tips dan Trik Blog I SEO I Free Template

Selasa, 10 Mei 2011

Membongkar Berhala, Membangun Sikap Ber-Allah


12.28 |

Oleh Dr. Paul Budi Kleden (Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores)


KEMBALI dunia dan bangsa ini dihantui oleh isu terorisme. Kasus cuci otak dalam rangka NII dan berita membunuhan Osama Bin Laden membangkitkan kembali bayangan mengenai aksi-aksi kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Bersamaan dengan itu, diskusi mengenai pluralitas agama dan pengakuan terhadapnya pun dihidupkan lagi.


Pluralitas agama bukanlah satu kenyataan baru di dunia. Kenyataan kejamakan agama sudah ada sejak lahirnya agama-agama. Sudah berabad-abad dunia tidak hanya mengenal satu agama. Yang baru untuk banyak orang di sebagian wilayah dunia adalah kenyataan bahwa pluralitas itu dialami secara langsung dan intensif. Ada mesjid berdampingan dengan gereja, ada bunyi azan di samping lonceng gereja adalah satu kenyataan baru baru untuk banyak warga dunia.


Bagi kita orang Indonesia bukanlah hal baru bahwa orang-orang yang berbeda agama hidup dalam satu wilayah dengan intensitas perjumpaan yang cukup tinggi. Namun, bagi banyak orang lain di dunia, pengalaman ini sungguh baru, baik karena mobilitas manusia (seperti di Eropa dan Amerika), maupun karena arus informasi melalui media massa ( di Timur Tengah).


Ternyata pengalaman baru ini melahirkan banyak ketegangan. Tidak mudah bagi banyak orang untuk membagi ruang hidup dan wilayah privilesenya dengan orang-orang lain. Ruang hidup yang sebelumnya diatur berdasarkan kebiasaan yang dibenarkan dan diberkati dalam tradisi agama tertentu, kini tidak dapat lagi begitu saja dipertahankan, sebab sudah hadir pula orang-orang yang menafsir dan memaknai hidupnya menurut kerangka religius yang lain. Tidak jarang kehadiran orang lain dengan sistem berpikir, gaya hidup dan corak penyembahan yang berbeda, dipandang sebagai sebuah gangguan, malah ancaman dan bahaya. Karena itu muncul berbagai ketegangan dan bentrokan.


Yang menjadi soal adalah bahwa munculnya bentrokan karena pengalaman baru ini justru menimbulkan masalah dan ketegangan juga di wilayah-wilayah, di mana pluralitas agama bukanlah satu kenyataan baru. Hal ini kita alami di Indonesia. Kita yang sudah lama terbiasa hidup dalam sikap saling menghormati dan menghargai, tiba-tiba dirasuki sikap saling mencurigai. Ruang hidup yang sebelumnya diatur oleh satu perangkat hukum negara yang kita telah kita rancangkan sebagai platform bersama yang moderat, tiba-tiba hendak diatur menurut regulasi agama tertentu. Ketunggalan sebagai bangsa dalam kebhinekaan kini dinilai sebagai kesalahan sejarah yang harus diluruskan. Toleransi tradisional kita ternyata kurang bertahan berhadapan dengan perkembangan baru ini. Kenyataan ini menjadi tantangan yang serius bagi kita semua.


Sebenarnya berbagai peristiwa dalam sejarah bangsa ini menunjukkan betapa rasa kemanusiaan telah menggeser pemisahan yang ditimbulkan oleh agama-agama. Aksi solidaritas global menanggapi bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh akhir 2004, misalnya, menunjukkan wajah yang terbelah dari penghayatan akan agama pada masa sekarang. Tetapi serentak dengan itu Aceh membuka tabir harapan ke arah satu suasana baru dalam relasi agama dengan masyarakat manusia. Aceh menjadi sebuah miniatur yang menunjukkan kecenderungan penghayatan agama dan relasi antaragama dalam dunia yang plural dan global. Hemat saya, kalau kita hendak menggagas sebuah paradigma baru dalam penghayatan agama, kita sudah bisa melihat sketsanya dalam peristiwa tersebut. Masyarakat internasional telah menunjukkannya. Kini giliran kita untuk mengikutinya.


Di satu pihak agama-agama, bersama berbagai elemen masyarakat dunia lainnya, turut mendorong lahirnya tindakan solider berupa pengiriman bala bantuan ke daerah bencana. Di banyak negara maju, lembaga-lembaga agama justru menjadi lembaga yang lebih dipercaya untuk menyalurkan bantuan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa untuk masyarakat Eropa dan Amerika, gelombang solidaritas yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga sekuler pun sebenarnya masih merupakan sisa dari wajah keagamaan. Agama bangkit dan menjadi teridentifikasi dalam wacana masyarakat plural, apabila agama menjadi satu faktor yang mempertajam kepekaan dan menumbuhkan tanggung jawab kemanusiaan.


Pada pihak lain kita berhadapan dengan kenyataan bahwa kita bereaksi sangat hati-hati berkenaan masalah keagamaan dalam aksi solidaritas tersebut. Kita melihat seolah agama dapat menjadi halangan untuk penyaluran bantuan bagi para korban. Karena cemas akan ketersinggungan para saudara/i kita yang muslim, orang-orang Kristen berusaha agar sejauh mungkin bantuan mereka tidak dikenal secara eksplisit sebagai bantuan dari orang Kristen. Dalam kenyataan, para korban di Aceh sama sekali tidak mempersoalkan agama orang yang membantu mereka. Hanya ada pihak tertentu yang merasa mempunyai alasan untuk mencurigai bahwa di balik aksi solidaritas ini terselubung niat untuk kristianisasi masyarakat korban. Ada kecurigaan dan pelabelan tertentu yang justru menghambat keberpihakan terhadap para korban.
Kedua wajah yang terbelah ini menunjukkan dua paradigma yang berbeda yang sedang berkembang dalam masa kita yang ditandai oleh pengalaman pluralitas agama yang intensif. Kita tidak dapat mengatakan bahwa agama tertentu mencerminkan wajah ini, sementara agama lain menampilkan wajah lain. Hemat saya, kedua wajah ini serentak ada di dalam semua komunitas beragama.
Paradigma pertama adalah keterlibatan agama-agama dalam karya-karya kemanusiaan. Agama masih menjadi motor yang patut diandalkan untuk membangkitkan solidaritas manusia bagi sesamanya, juga yang berbeda agama.

Banyak orang mengambil inspirasi dan motivasi dari agama-agama untuk terjun dan bertahan dalam karya-karya kemanusiaan. Agama mendekatkan orang-orang yang berbeda-beda kepercayaan. Paradigma kedua adalah bahwa agama masih menjadi andalan untuk membuat resistensi terhadap pengaruh-pengaruh asing atau mencegah memberi bantuan bagi pihak lain. Agama menjadi unsur pemisah yang bisa sangat menyakitkan. Tidak jarang resistensi ini terjadi sambil mengorbankan kepentingan para penderita. Resistensi ini mencerminkan kecemasan terhadap pengaruh agama lain bagi para pemeluk agama sendiri.


Agama yang terobsesi pada diri sendiri sebenarnya adalah agama yang sedang memberhalakan dirinya sendiri. Agama seperti ini sedang mengkhianati Allah. Allah adalah Allah, dan agama harus menghormati Allah, yang selalu lebih besar (akbar) dari dirinya sendiri. Allah yang benar selalu mempertahankan transendensiNya, kendati Dia menjadi imanen dalam pewahyuan diriNya. Agama yang benar mestinya selalu berorientasi pada Allah, mendengar dan mengikuti Allah. Dalam imanensiNya Allah mendatangi dan mengakrabi dunia dan manusia, menjadi lebih akrab dengan manusia dari manusia dengan diri dan sesamanya sendiri. Kalau demikian, agama yang benar harus selalu berusaha membongkar sikap memberhalakan diri dan sebaliknya selalu menumbuhkan sikap berorientasi pada Allah.


Sebenarnya, globalisasi kemanusiaan dan kepedulian akan keutuhan ciptaan merupakan satu arus global yang bersifat kritis terhadap globalisasi ekonomi yang cenderung menomorsatukan profit, tanpa mempedulikan beban yang mesti dipikul banyak penghuni bumi dan ketahanan bumi itu sendiri. Karena kemanusiaan telah menjadi satu nilai yang dibagi semua warga keluarga umat manusia, maka pelecehan terhadap kemanusiaan akan mengundang reaksi seluruh umat manusia. Juga kebersatuan dalam alam lingkungan yang sama sudah menjadi bagian yang utuh dari kesadaran bersama para penghuni bumi. Karena itu, kerusakan lingkungan di wilayah mana saja tidak dapat lagi diklaim sebagai masalah internal satu kesatuan politis.


Di tengah arus globalisasi kemanusiaan dan keprihatinan akan lingkungan hidup seperti ini agama hanya akan tampil sebagai satu lembaga yang kredibel apabila berpaling kepada kemanusiaan dan keutuhan ciptaan. Jika satu agama melawan gerakan global yang berwajah kemanusiaan, maka agama tersebut sebenarnya sedang menyingkirkan diri dari jaringan kekeluargaan seluruh umat manusia. Agama-agama menjadi sahabat manusia dan kerabat bumi, apabila mereka turut dalam gerakan besar kemanusiaan dan lingkungan.


Dari sini ada dua hal yang perlu ditegaskan. Pertama, prioritas di dalam setiap agama adalah Allah. Allah itu selalu lebih besar, lebih akbar dari manusia dan agamanya (deus semper maior). Allah tidak identik dengan ajaran agama, karena Allah bersifat kekal, sementara agama adalah tanggapan manusia yang tidak pernah dapat meniadakan sifat kefanaannya. Agama adalah wadah tanah liat yang menyimpan kekayaan ilahi. Bukannya wadah ini tidak penting, tetapi mesti disadari bahwa wadah ini bukanlah Allah. Saat agama menjadikan dirinya sendiri Allah, artinya ketika agama membuat dirinya mutlak dan kekal, pada waktu itu sebenarnya agama mengingkari dirinya dan mengkhianati Allah.


Kedua, Allah yang dikenal dan ditradisikan di dalam agama-agama adalah Allah yang mewahyukan diriNya, yang menampakkan diriNya demi keselamatan dan pembebasan manusia. Itu berarti, Dia adalah Allah yang tidak membiarkan manusia tenggelam dalam usaha sia-sia untuk menyelamatkan diri sendiri dan dalam penghancuran diri dan sesama serta alam lingkungan.


Pada intinya, Allah yang dikenal dan disembah di dalam Allah agama-agama adalah yang memiliki sebuah pro-eksistensi: Allah demi manusia. Jika demikian, maka manusia yang menyerahkan diri kepada Allah mestinya menjadi manusia yang terbuka dan memiliki komitmen bagi manusia dan alam. Sebab itu kita mesti mengatakan untuk setiap agama: konsekuensi dari kesetiaan kepada Allah adalah komitmen yang jelas dan tegas kepada manusia dan ciptaan. Kita tidak dapat beragama tanpa memiliki kepedulian terhadap manusia dan lingkungan hidup. Ibadah yang benar tidak pernah tidak bersentuhan dengan manusia dan persoalannya. Karena Allah adalah pengertian yang merangkum manusia, maka mendekati Allah selalu berarti juga berpaling kepada manusia dan ciptaan. *
Editor : Bildad Lelan | Penulis : | Sumber :


You Might Also Like :


0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar, dan jangan lupa kembali lagi

Diberdayakan oleh Blogger.