Pelajaran Blog Khusus Bagi Pemula Lugas dan Penting Forantum I Blogging is My Life I Tutorial Blog I Tips dan Trik Blog I SEO I Free Template

Selasa, 10 Mei 2011

‘Goyang Lamahora’ dan Runtuhnya Politik


12.26 |

Oleh Dr. Otto Gusti (Dosen Etika Sosial di STFK Ledalero)


HARIAN Pos Kupang (PK) tanggal 6 Mei 2011 menurunkan sebuah berita menarik berjudul “Lusia Lebu Raya Goyang Lamahora”. Seperti diberitakan PK, istri Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, ini sempat menghipnotis warga Lamahora dengan lagu Terajana dan Cicak Rowo ketika ikut berkampanye untuk Paket PDIP, Eliaser Yentji Sunur-Viktor Mado Watun (Paket Lembata Baru) pada hari kedua kampanye pemilu kada di Lembata. Spontan warga Lamahora ikut bergoyang (Bdk. PK, 2-5-2011, hlm. 1).


Tentu tak ada soal mendasar jika para politisi bernyanyi atau bergoyang dangdut dalam sebuah perayaan ulang tahun, pesta nikah, syukuran permandian anak atau acara-acara privat lainnya. Menjadi soal dan masyarakat patut melihat dengan tatapan kritis ketika goyang dangdut menjadi metode berkampanye dalam pemilu kada.


Politik Tubuh


Fenomena ‘goyang Lamahora’ dapat ditempatkan dan ditafsir dalam kerangka perkembangan politik dan demokrasi di Indonesia pasca reformasi. Goyang Lamahora adalah bagian dari politik pencitraan yang menjadi ciri khas demokrasi di Indonesia pasca reformasi. Politik pencitraan ini dapat disejajarkan dengan fenomena maraknya kandidasi para artis oleh partai-partai politik yang meramaikan bursa calon pemilihan kepala daerah dan juga calon legislatif.


Secara prosedural fenomen ini dapat ditafsir sebagai kemajuan dalam kehidupan berdemokrasi karena menunjukkan luasnya partisipasi demokratis warga negara Indonesia untuk mengambil bagian dalam hidup berpolitik. Namun di sisi lain, secara substansial gejala ini sesungguhnya merupakan gambaran kasat mata patologi hubungan antara perempuan dan politik dalam ranah politik praktis di Indonesia.


Sesungguhnya pencalonan para artis belum menjadi bukti empiris kesadaran gender para elite politik kita. Alasannya, para artis dipilih pada tempat pertama bukan karena kompetensi politis dan integritas moral yang dimilikinya, tapi lantaran kemolekan tubuh dan popularitas pribadi. Partisipasi politik kaum perempuan direduksi menjadi politik tubuh. Dengan bantuan media massa para artis dipakai sebagai iklan untuk mendongkrak citra partai-partai politik dan elite politik yang kian buram dan terpuruk di mata masyarakat (Bdk. Otto Gusti, Politik Diferensiasi 2011, hlm. 33).


Dengan fenomena goyang Lamahora serta kandidasi para artis, elite politik sedang mengacaukan politik dengan pasar. Politik sebagai deliberasi rasional di ruang publik berubah wajah menjadi nyanyian dangdut, spanduk, billboards di pinggir-pinggir jalan, kemolekan tubuh perempuan dan iklan-iklan di televisi.


Rasionalitas instrumental pasar telah memanipulasi kesadaran warga (demos) serta mengisi dan ‘mengkolonialisasi’ ranah publik politik sebagai ruang diskursus bebas represi. Merdunya suara penyanyi dangdut dan kemolekan tubuh artis dipakai untuk menggaet massa voters. Voters tidak diperlakukan sebagai warga otonom dan rasional, melainkan massa konsumen yang dapat dimanipulasi lewat iklan-iklan politik dan nyanyian dangdut. Hasilnya, setelah pemilu kada berakhir tampuk kekuasaan tetap dipegang oleh elite-elite politik pragmatis yang jauh dari keberpihakan terhadap nasib rakyat miskin.


Hegemoni Kapital


Goyang Lamahora adalah bukti kasat mata hegemoni logika pasar atas politik pemilu kada. Secara umum, bahaya hegemoni kapital atas politik sudah jauh-jauh hari diperingati filsuf keturunan Yahudi asal Jerman, Hannah Arendt (1906-1975). Politik adalah ekspresi kebebasan menurut Arendt. Kebebasan itu terungkap dalam komunikasi atau wacana di ruang publik. Namun ketika politik tunduk di bawah logika pasar (baca: dangdut, iklan-iklan politik), maka wacana pun macet dan politik berada di titi awal keruntuhan. Alasannya, pasar berorientasi pada kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi-konsumsi.


Ketika politik sebagai ekspresi kebebasan tunduk di bawah logika keniscayaan produksi dan konsumsi, maka panggung politik akan marak diisi oleh para politisi pengejar profit dan mata pencaharian. Ruang publik berubah rupa menjadi pasar yang marak KKN, kebohongan, penipuan serta iklan-iklan politik manipulatif. Dalam kampanye pemilu kada tak ada lagi dialog atau wacana rasional tentang persoalan substansial hidup masyarakat pemilih seperti misalnya bahaya korporasi tambang yang akan mengeruk kekayaan alam rakyat Lembata.


Politik sebagai deliberasi rasional digeser. Sebagai gantinya, kepada demos disuguhkan dari pentas politik pemilu kada iklan politik dengan penekanan pada penampilan luar, hiburan-hiburan murahan, nyanyian dangdut, manipulasi, politik uang, pengerahan massa dan politik partisan. Tak ada lagi batasan yang jelasa antara oikos dan polis, antara keniscayaan pasar dan ekspresi kebebasan politik.
Hancurnya tembok pemisah ini berarti ekspansi survival of the fittest a la Darwin ke ruang politik. Akibatnya, masyarakat dilanda krisis solidaritas, individu-individu terhempas dari basis komunitasnya dan berubah menjadi homo economicus yang apatis terhadap politik. Saling pengertian, empati dan respek akan perbedaan dalam kehidupan sosial kian tergeser. Prinsip survival hidup atau mati menjadi pilar satu-satunya hidup sosial (Bdk. F. Budi Hardiman, 2010, hlm. 190).


Individu yang apatis terhadap politik pada gilirannya menjadi sasaran empuk manipulasi pasar. Tak ada lagi demos (warga kritis) yang mengekpresikan kebebasannya di ruang publik. Yang ada adalah massa konsumen yang telah mengalami depolitisasi. Masyarakat massa tak mampu bersifat kritis dan rentan dimobilisasi demi sebuah politik kekuasaan. Massa adalah lahan subur bertumbuhnya politik uang dan KKN.


Dominasi pasar atas politik menyebabkan biaya pemilu kada atau pemilihan legislatif di Indonesia menjadi sangat mahal. Menurut hasil penelitian Profesor Stein Kristiansen dari Universitas Agder, Norwegia dan UGM, untuk menjadi bupati di Indonesia seseorang tidak segan-segan mengeluarkan biaya sekitar Rp 5 hingga 20 miliar. Sementara itu gaji seorang bupati cuma berkisar dari 6 sampai 7 juta perbulan.

Bupati terpilih akan menggunakan pelbagai cara untuk menutup kembali investasi yang dikeluarkan selama proses pemilu kada. Korupsi menjadi sebuah keniscayaan dalam politik pemilu kada yang mengandalkan iklan-iklan politik, penciteraan dan politik bagi-bagi uang.

Runtuhnya politik hanya dapat diatasi dengan membangun garis demarkasi yang tegas antara pasar dan ruang publik serta mengembalikan politik ke kodrat awalnya sebagai deliberasi rasional di ruang publik. *
Editor : Bildad Lelan | Penulis : SKH Pos Kupang | Sumber : Pos-kupang.com


You Might Also Like :


0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar, dan jangan lupa kembali lagi

Diberdayakan oleh Blogger.