seorang filsuf prancis pernah menulis “Jika kita mau menulis tentang wanita, lebih-lebih tentang ibu, celupkanlah dulu penamu kedalam pelangi dan tebarkanlah warna bulu kupu-kupu di atas kertas mu”. Tampaknya pernah seorang telah menyentuh pelangi indah di kaki langit, sampai ia menulis ibu.
Semenjak aku kecil dulu hingga kini, rumah kita begitu hangat, pun bila hari mendung dan hujan badai, siang malam aku bertanya “Mengapa aku begitu betah di rumah yang begini sederhana?”. Tanganmu ibu, hanya dua,tetapi sekaligus bisa merangkul kami yang bersepuluh dangan erat-erat. Bila hati kami berat entah dimarahi guru ,tanganmu langsung mengelus dan beban hatipun hilang.Tangan mu kini tak muda lagi, tetapi dalam setiap kerutannya tersimpan rapat-rapat cinta tanpa batas.
Tangan itulah yang memandikan kami, ketika kami masih kecil. Tetapi dari bayi hingga kini, ibu tetap membasuh dengan air cinta. Kini kami telah dewasa dan mempunyai jalan hidup masing-masing, namun nasehat ibu tetap menjadi pelita untuk kami. Suara mu ibu, adalah pelita yang menyala di rumah kita.
Pernah seorang adik kembali, di musim libur. Dari jauh ia telah memanggil nama ibu tetapi mengapa tak terdengar suara ibu. Tetangga yang melihat kerinduan yang tak tetahankan dari anak itu akan ibunya cepat berkata, ”Ibumu belum datang dari kebun.”
Hari libur seakan surga bagi kami, mandi disungai yang bening sambil berbagi cerita dengan ibu adalah saat –saat yang tidak akan pernah terlupakan. Mengelilingi tungku bernyala seraya menanti pisang goreng hangat, itulah yang paling dinanti-nantikan oleh kami semua. Ke pasar, ke kebun,bertandang ke rumah tetangga atau sekedar ke lumbung melihat padi-padi kita yang baru dituai, melirik ayam yang sedang mengeram sungguh membuat girang.
Jarang teraengar ibu mengeluh. Beban yang menindih hatinya, ia simpan sendiri. Bila matanya sayu dan suaranya sendu, tahulah kami bahwa ada kalut yang melilit hatinya. Namun ibu tak membiarkan dirinya berlama-lama larut dalam duka, sebab ia tahu bahwa ia harus tetap menjadi pelita dalam rumah.
Maka yakinlah saya, bahwa bukan rumah yang besar, megah dan mewah yang menjadikan hati ceria dan bahagia, melainkan cinta seorang ibu yang membuat rumah itu menjadi rumah dalam arti sesungguhnya. Telingaku menangkap sebuah kotbah digereja berkata “Ibu adalah rumah”
Ibu, cinta hatimu seluas samudra, sedemikian luas sampai luka dan derita segunung pun ikut hanyut didasarnya.
Tak salah lagi penyair berucap ”Ibu adalah mahluk yang dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki hanya terdiri dari hati. Terimah kasih bagi semua ibu dimanapun berada. Benarlah bila Maxim Gorki pengarang asal rusia itu berkata ”Bumi berbangga kerena pekerjaan ibu.”
Menulis tetang ibu takkan pernah ada habisnya, sementara pelangi masih bersanding di langit, sementara kupu-kupu tak penah lupa menebar warna. Tangan yang menggerakan buaian, tangan itu pula yang menggerakkan dunia. Kucium tangan ibuku, dengan penuh hormat dan berucap limpah terima kasih sambil memohon berkat, dan ibu dari segala ibu, itulah Bunda Maria Master piece
Allah sendiri.
Dogel Blazt
You Might Also Like :
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar, dan jangan lupa kembali lagi